JAKARTA, KOMPAS - Banjir dan longsor mulai terjadi di sejumlah wilayah Indonesia seiring dengan datangnya musim hujan. Setidaknya enam kejadian banjir dan longsor terjadi di Jawa Barat, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara dalam sepekan terakhir.
Longsor di Desa Sintuk, Kota Pariaman, Sumatera Barat, Jumat (9/11/2018), menyebabkan Sawitri (23), warga setempat, tewas. Dia tertimpa material longsor setinggi 20 meter di belakang rumahnya.
”Longsor diduga dipicu hujan deras. Ditambah lagi kondisi tanah di sini ringkih akibat gempa besar yang pernah mengguncang Sumbar, termasuk Pariaman, beberapa tahun silam,” kata Kepala Desa Sintuk Artoni.
Hal serupa terjadi di Desa Bojongsari, Kecamatan Culamega, Kabupaten Tasikmalaya, Jabar. Sebanyak 143 rumah rusak parah akibat tertimbun longsoran pada Selasa (6/10). Sejumlah titik jalan putus tertutup tanah. Ratusan warga terpaksa tinggal di tenda pengungsian.
Namun, di empat dusun di Bojongsari yang masih terisolasi, banyak warga hanya mengungsi seadanya di pinggir jalan sehingga sangat berbahaya jika terjadi longsor susulan.
Warga membersihkan jalan agar bisa dilalui kendaraan roda dua. ”Namun, hujan yang datang hampir setiap hari membuat jalanan kembali tertimbun,” ujar Kepala Desa Bojongsari Guruh Ivan Kurniawan.
Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Tasikmalaya Ria Supriana mengatakan, banjir dan longsor yang terjadi di selatan Tasikmalaya berdampak pada sekitar 4.000 warga di Kecamatan Culamega, Cipatujah, dan Karangnunggal.
Sebanyak enam warga tewas akibat kejadian ini. Hal ini menambah buram jejak Kabupaten Tasikmalaya sebagai kawasan paling rawan bencana di Jabar.
Kepala Bidang Mitigasi Gerakan Tanah di Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi Agus Budianto mengatakan, masyarakat di sekitar daerah rawan bencana butuh pendampingan banyak pihak untuk mematangkan langkah mitigasi bencana. Menurut dia, warga setempat menjadi kelompok paling dekat yang terancam bahaya jika mitigasi itu diabaikan.
”Warga bisa dilibatkan memantau potensi bencana, seperti melihat indikator bencana, di antaranya berkurangnya kawasan resapan air, laju aliran air yang tidak teratur, dan munculnya rekahan di lereng atau tebing,” katanya.
Mitigasi bencana
Penerapan mitigasi bencana sudah dirasakan warga di sembilan kecamatan di Mandailing Natal, Sumatera Utara. Kepala BPBD Kabupaten Mandailing Natal Yasir Nasution mengatakan, masyarakat setempat belajar dari kejadian pada 12 Oktober 2018.
Saat itu, banjir bandang menghanyutkan puluhan rumah dan sekolah di Kecamatan Ulu Pungkut dan memakan korban jiwa.
Korban meninggal 12 siswa karena sekolah terbawa banjir bandang. Sejak itu, warga yang bermukim di pinggir sungai, kata Yasir, mengungsi ke tempat yang lebih aman saat hujan. Hal itu membuat banjir bandang yang kembali datang pada Rabu (7/11) tak lagi merenggut nyawa.
Langkah yang sama dilakukan warga terdampak banjir di Kabupaten Bandung. Mereka sudah menyiapkan langkah mandiri karena banjir yang sempat surut kembali meninggi pada Jumat sore. Masyarakat mulai menyiagakan perahu dan memasang tali di gang sempit untuk memudahkan mobilitas mereka.
Meski mayoritas warga masih bertahan di lantai dua rumah, titik-titik pengungsian sudah difungsikan. Sekitar 40 warga, misalnya, sudah tinggal di gedung Inkanas, Kecamatan Baleendah.
Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Kabupaten Bandung Sudrajat mengatakan telah mengaktifkan pos lapangan penanganan bencana di Baleendah.
Pos tersebut dilengkapi sejumlah perahu yang disiapkan untuk mengevakuasi warga jika banjir susulan melanda. Sudrajat berharap, persiapan itu bisa meminimalkan kerugian saat puncak musim hujan tiba.
”Kami terus memantau kondisi banjir di permukiman warga. Masyarakat juga diharapkan siaga dalam menghadapi musim hujan,” ujarnya. (TAM/RTG/ZAK/CHE/NSA)