PONTIANAK, KOMPAS — Kalimantan Barat memiliki banyak sungai. Bahkan, Sungai Kapuas terpanjang di Indonesia dengan panjang 1.200 kilometer ada di daerah itu. Ironisnya, sungai yang harusnya dijadikan ”wajah kota” justru terpinggirkan. Padahal, sungai memiliki berbagai potensi. Salah satunya pariwisata yang mendatangkan pendapatan bagi daerah.
Sebagian besar daerah yang dilintasi Sungai Kapuas belum merawat sungai. Sungai justru tercemar limbah perkebunan dan pertambangan ilegal. Data dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat, ada 10 juta hektar lahan di daerah aliran Sungai (DAS) Kapuas dan jutaan hektar lahan di antaranya dalam kondisi kritis.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Perumahan Rakyat Provinsi Kalbar Adi Yani, Sabtu (10/11/2018), mengatakan, kualitas air Sungai Kapuas yang melintasi Kabupaten Sanggau, Sekadau, Sintang, Kapuas Hulu, dan Kota Pontianak itu di bawah standar baku mutu. ”Di banyak titik sepanjang Kapuas tercemar limbah perkebunan dan pertambangan emas ilegal,” ujarnya.
Bahkan, kualitas air Kapuas masuk pada kelas III yang artinya perlu perlakuan khusus jika ingin dikonsumsi. Jika ingin dikonsumsi, harus melalui proses pemurnian terlebih dulu. Sungai Kapuas masih dimanfaatkan sebagai air konsumsi masyarakat melalui perusahaan daerah air minum.
Pemantauan kualitas air Sungai Kapuas harusnya dilakukan oleh kabupaten-kabupaten yang dilintasinya sebab memerlukan sampel setidaknya di 400 lokasi. Jika hanya provinsi yang meneliti, sulit sekali. Kabupaten hendaknya lebih berinisiatif menjaga kualitas air Kapuas.
Dalam beberapa kesempatan Kompas, menyusuri Sungai Kapuas dari Pontianak hingga ke Kapuas Hulu kondisinya memprihatinkan. Dekade 1940-an hingga setidaknya 1970-an, Kapuas bebas dari pencemaran karena masih dianggap penting sebagai urat nadi perdagangan dan transportasi, sebelum ada jalur darat.
Kalau dahulu Sungai Kapuas sangat dihargai, kini situasinya berbeda. Apalagi setelah jalan darat sudah mulai dibangun pada tahun 1950-an. Jalan itu bahkan sebagian di antaranya menyusuri Sungai Kapuas.
Kapuas kini menjadi ironi. Di pinggir Sungai Kapuas banyak terdapat penambangan ilegal. Limbah dari aktivitas penambangan langsung dialirkan ke Sungai Kapuas sehingga sungai keruh dan tercemar limbah tambang, termasuk merkuri.
Kritisnya DAS Kapuas berdampak pada 1,7 juta penduduk di tujuh kabupaten/kota yang dilintasi Sungai Kapuas. Air sungai yang awalnya digunakan sebagai sumber air bersih, perikanan, dan transportasi, lambat laun tidak dapat diandalkan karena tingginya tingkat pencemaran dan terjadinya pendangkalan. Tradisi sungai pun lama-lama ditinggalkan.
Jika dirawat dan dikembangkan secara serius, sungai berpotensi menjadi aset pariwisata yang menjanjikan. Namun, sejauh ini sebagian besar daerah yang dulintasi Kapuas belum memanfaatkan sungai sebagai potensi pendapatan daerah melalui pariwisata.
Pontianak memulai
Kota Pontianak beberapa tahun terakhir menjadikan sungai sebagai ”wajah kota”. Gubernur Kalbar Sutarmidji, yang juga mantan Wali Kota Pontianak, dalam seminar Perkembangan Kota Berbasis Air dalam Perspektif Arsitektur dan Urban, Sabtu pagi, mengatakan, sungai menjadi wajah Kota Pontianak.
Akhir tahun ini, semua bangunan di pinggir Sungai Kapuas di Pontianak harus menghadap ke sungai sehingga sungai bukan lagi halaman belakang. Pemerintah juga sudah menggeser garis sempadan sungai menjadi 18 meter dari permukiman penduduk sehingga ada ruang bagi masyarakat menikmati sungai. Pemerintah sudah menyiapkan tempat olahraga dan berjalan kaki di tepinya.
Pedagang-pedagang yang dahulu berjualan di Alun-alun Kapuas kini tidak ada lagi. Mereka mengalihkan usahanya dengan menyediakan kapal pariwisata tradisional (kapal bandong) bagi wisatawan yang ingin menyusuri Kapuas. Jumlahnya ada puluhan kapal.
Peranan Komunitas Cinta Kapuas juga sangat penting dalam mengubah wajah tepian Kapuas di Pontianak. Mereka tak henti-henti berkampanye soal sungai dan kebersihannya. Di Pontianak ada dua belas Komunitas Cinta Kapuas.
Sutarmidji berencana komunitas tersebut dibentuk lebih banyak lagi di kabupaten-kabupaten yang dilintasi Sungai Kapuas. Dengan demikian, diharapkan Sungai Kapuas akan diperhatikan dan tetap terjaga.
Tak hanya itu, setiap memperingati Hari Air Sedunia, di Pontianak juga dilaksanakan kegiatan Festival Sungai Jawi. Sungai dan parit-parit di Kota Pontianak berfungsi strategis sebagai jalur ekonomi dan transportasi setidaknya tahun 1700-an hingga 1992.
Namun, parit-parit itu kini ditinggalkan sehingga kotor. Melalui Festival Sungai Jawi diharapkan kesadaran untuk menjaga sungai dan parit tumbuh kembali. Parit-parit di Kota Pontianak umumnya memiliki lebar 5-10 meter.
Budayawan Pontianak, Syafaruddin Usman, mengatakan, sungai dan parit-parit di Pontianak sempat menjadi urat nadi perekonomian dan transportasi, setidaknya tahun 1700-an hingga 1992. Pada masa itu, parit dan sungai strategis karena belum banyak jalan. Perdagangan sayur-mayur dan transportasi menggunakan sampan. Serambi rumah penduduk menghadap ke parit dan sungai karena parit dan sungai strategis sekali.
Banyaknya parit dan pentingnya sungai menjadikan Pontianak dijuluki ”kota seribu sungai” atau ada juga yang menyebut ”kota seribu parit”. Namun, kondisinya kini berbeda. Ruas-ruas jalan sudah menggantikan fungsi strategis parit dan sungai. Sungai dan parit ditinggalkan sehingga menjadi tempat sampah. Selain itu, bertambahnya jumlah penduduk menuntut ketersediaan permukiman yang lebih luas sehingga ada parit yang ditutup.
Parit-parit yang ada di Pontianak, misalnya di Sungai Jawi dan sekitar Jalan Gajah Mada, perlu tetap dipelihara sebagai cagar budaya. Biar bagaimanapun, parit dan sungai menjadi citra yang khas bagi Kota Pontianak.
Dengan kesadaran baru bahwa sungai adalah wajah kota, warga Kota Pontianak dan sekitarnya akan menerima manfaat positif.