YOGYAKARTA, KOMPAS — Ombudsman Republik Indonesia ikut mengawal penuntasan kasus dugaan pelecehan seksual mahasiswi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Penuntasan kasus itu dinilai penting agar masalah serupa tidak kembali terulang.
”Ombudsman merasa penting untuk mendalami kasus ini karena ini terkait dengan sistem pendidikan kita dan terkait dengan masa depan anak-anak kita yang dititipkan di perguruan tinggi,” kata anggota Ombudsman RI, Ninik Rahayu, dalam konferensi pers, Sabtu (10/11/2018), di kantor Ombudsman RI Perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kasus dugaan pelecehan seksual itu menimpa mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM saat mengikuti program kuliah kerja nyata (KKN) di Pulau Seram, Maluku, pada tahun 2017. Pelaku yang diduga adalah seorang mahasiswa Fakultas Teknik UGM juga yang menjadi peserta KKN bersama korban di Pulau Seram.
Ninik menyatakan, perguruan tinggi merupakan tempat pendidikan dan pengajaran sehingga seharusnya menjadi tempat yang aman bagi semua pihak, termasuk perempuan. Namun, kasus pelecehan seksual terhadap perempuan ternyata masih terjadi di lingkungan perguruan tinggi.
”Upaya perlindungan terhadap ancaman kekerasan seksual, baik yang dilakukan oleh oknum pengajar, oknum staf, atau antar-sesama mahasiswa, sering kali belum menjadi prioritas,” ujar Ninik.
Berdasarkan informasi sementara yang dihimpun Ombudsman RI, Ninik menduga sempat ada pembiaran sehingga penyelesaian kasus tersebut berlarut-larut. Oleh karena itu, menurut Ninik, ada kemungkinan telah terjadi maladministrasi dalam penanganan kasus ini.
”Ada potensi maladministrasi terkait penundaan berlarut yang dilakukan UGM dalam menangani kasus ini. Kasus ini sudah terjadi pada bulan Juni 2017 tetapi sampai sekarang proses penanganan, baik terhadap pelaku maupun korban, belum ada yang tuntas,” tutur Ninik.
Dia menambahkan, Ombudsman RI telah bertemu dengan perwakilan mahasiswa dan dosen UGM yang ikut mengadvokasi korban pelecehan seksual tersebut. Ke depan, Ombudsman RI juga akan melakukan pengumpulan data dan investigasi terkait kasus itu. Secara teknis, pengumpulan data dan investigasi itu akan dilakukan oleh Ombudsman RI Perwakilan DIY.
Menurut Ninik, investigasi atas kasus tersebut juga menjadi pintu masuk untuk melihat apakah UGM memiliki aturan dan sarana-prasarana untuk mencegah terjadinya kasus pelecehan seksual. ”Kasus kekerasan seksual itu seperti fenomena gunung es. Yang lapor mungkin cuma satu karena hanya dia yang berani melapor, tetapi yang tidak terlaporkan bisa jadi jumlahnya lebih besar,” ujarnya.
Sebelumnya, Rektor UGM Panut Mulyono menyatakan, UGM telah membentuk tim investigasi independen untuk menyelidiki kasus tersebut. Tim investigasi itu telah menyelesaikan tugasnya dan memberikan rekomendasi kepada pihak kampus. Rekomendasi itu berkait dengan sanksi untuk terduga pelaku, pendampingan untuk korban, dan saran perbaikan kepada manajemen UGM.
Sanksi untuk terduga pelaku adalah menandatangani surat permohonan maaf, pembatalan KKN, skorsing mengikuti KKN selama satu semester, penundaan yudisium, dan penundaan wisuda minimal enam bulan atau sampai masalah ini dianggap selesai. Terduga pelaku juga harus mengikuti konseling sampai mendapat rekomendasi memuaskan dari tim konseling.
Dengan keputusan itu, terduga pelaku dipastikan batal mengikuti prosesi wisuda pada November ini. Sebelumnya, nama terduga pelaku sempat masuk ke daftar mahasiswa UGM yang akan menjalani wisuda pada November 2018.
Sementara itu, kepada korban atau penyintas, UGM memberi pendampingan psikologis sampai kondisi psikologisnya pulih. UGM juga telah meninjau ulang dan memperbaiki nilai KKN penyintas.
”Saya sebagai orangtua sejak awal meyakini UGM mampu menyelesaikan persoalan ini berdasarkan peraturan-peraturan yang ada di UGM. Kami yakin bisa menghasilkan keputusan-keputusan yang seadil-adilnya,” kata Panut.
Namun, menurut Panut, apabila keputusan UGM terkait masalah itu dirasa belum memenuhi rasa keadilan, tidak menutup kemungkinan kasus itu dibawa ke ranah hukum. Namun, sebelum keputusan tersebut diambil, harus ada diskusi lebih dulu dengan penyintas, terutama terkait kemungkinan munculnya berbagai konsekuensi apabila kasus itu dibawa ke ranah hukum.