Pemerintah Perlu Mengenalkan Jasa Pahlawan dengan Cara Kekinian
Oleh
Adri Fajriansyah
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya. Begitulah kata pepatah yang korelasinya sangat tepat dengan Hari Pahlawan yang selalu diperingati Indonesia setiap 10 November ini. Hanya saja, sudah menjadi rahasia umum, banyak pemuda yang tak gemar belajar sejarah karena cara penyampaian yang konvensional, yakni dengan cara membaca lalu menghafalnya.
Di era milenial ini, cara penyampaian sejarah harusnya lebih kekinian, seperti melalui foto-foto menarik hingga membuat video interaktif. Dalam hal itu, negara harus menyadarinya dan mewujudkan itu agar generasi modern ini tetap mau mengenal jasa-jasa pahlawannya. Itulah pesan yang muncul dari Diskusi Visi Generasi Kini bertema ”Seberapa Gereget Kaum Milenial dalam Memperingati Hari Pahlawan?” di Jakarta, Sabtu (10/11/2018).
Hadir dalam diskusi itu atlet paralayang nasional Hening Paradigma, pendiri Aktivis Milenial M Arief Rosyid Hasan, dan Sekretaris Deputi Pemberdayaan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga Esa Sukmawijaya. Diskusi tersebut juga dihadiri belasan mahasiswa dari wilayah Jabodetabek.
Arief mengatakan, dunia sekarang telah bergerak semakin cepat dengan kemajuan teknologi yang pesat. Warga pun mencari informasi dengan sangat selektif, di mana hanya informasi yang disampaikan dengan menarik yang akan dicari. Sebagai negara besar, Indonesia patut beradaptasi dengan perubahan zaman tersebut jika tidak ingin tertinggal.
Hal itu tak terkecuali dalam penyampaian informasi ataupun pelajaran sejarah. Tak dimungkiri, sejarah adalah ilmu yang sangat penting, setidaknya untuk menumbuhkan kebanggaan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara. Namun, tak bisa dielakkan pula, banyak orang yang tak suka dengan pelajaran tersebut karena pola penyampaiannya yang sangat membosankan.
Seperti rahasia umum, pelajaran sejarah di sekolah disampaikan lewat membaca dan pelajar diwajibkan menghafalnya. Hal itu sangat tidak interaktif. Padahal, generasi modern sangat menggemari segala sesuatu yang interaktif yang bisa memicu mengembangkan kreativitas imajinasi mereka. Untuk itu, media sosial, seperti Instagram dan Youtube, sangat digemari karena mewadahi kebutuhan imajinasi generasi tersebut.
Dalam penyampaian sejarah, negara, dalam hal ini sekolah-sekolah, juga harus lebih interaktif. Pelajaran sejarah sepatutnya disampaikan dengan cara-cara menarik, seperti lewat foto-foto yang menggugah atau video yang menarik.
”Sebagai contoh, generasi modern ini akan lebih mudah mengingat jalannya film-film Hollywood dibandingkan teks pelajaran sekolah. Coba pelajaran sekolah dibuat dalam bentuk video-video atau bahkan film, kemungkinan besar pelajar akan lebih mudah mengingatnya, termasuk pelajaran sejarah,” ujar Arief.
Hening menuturkan, selain membuat pola pembelajaran yang lebih menarik, negara ataupun pemerintah pun perlu mengubah paradigma berpikir soal sejarah. Generasi modern saat ini sudah sangat jauh berbeda dengan zaman saat perang pra-kemerdekaan ataupun perang mempertahankan kemerdekaan.
Untuk itu, mereka perlu diberikan penjelasan lebih kekinian mengenai makna pahlawan. Bahwa pahlawan tak hanya mereka yang berperang atau angkat senjata. Pahlawan juga orang-orang yang bisa memberikan kontribusi positif sekecil apa pun di lingkungan sekitarnya.
”Dengan memberikan paradigma makna pahlawan yang lebih kekinian, generasi saat ini pun akan lebih tergugah dalam menghargai jasa pahlawannya. Dengan begitu, tak hanya pahlawan-pahlawan masa kini yang mereka akan hargai, tetapi juga yang lalu-lalu,” ujar atlet peraih satu emas dan satu perunggu di Asian Games 2018 itu.
Indeks pembangunan
Esa mengutarakan, pemerintah tak menutup mata dengan perubahan zaman yang semakin modern ini. Agar pemuda milenial semangat berkontribusi mengisi kemerdekaan dengan hal positif, Kemenpora terus berusaha mewujudkan pemuda-pemuda Indonesia yang berkualitas. Setidaknya, mereka menerbitkan Indeks Pembangunan Pemuda sejak Juli 2018.
Bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik, Kemenpora berusaha untuk mengawasi perkembangan para pemuda. Ada lima dimensi yang diperhatikan, yakni pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, parisipasi dan kepemimpinan, serta jender dan diskriminasi. Sejauh ini, bersama BPS, sudah keluar angka Indeks Pembangunan Pemuda tingkat provinsi dua tahun terakhir, yakni sekitar 47 pada 2015 dan 50 pada 2016.
Kemenpora berupaya agar pertumbuhan indeks tersebut minimal tiga poin per tahun. Tujuannya, saat bonus demografi Indonesia pada 2020-2035, para pemuda bisa mengisi pembangunan dengan lebih optimal.
”Hanya pemuda-pemuda berkualitas yang akan mengisi pembangunan suatu negara dengan hal-hal berkualitas juga. Untuk itu, penting sekali ada indikator pertumbuhan pemuda agar arahnya jelas,” kata Esa.