Kendati berperan penting dalam menyediakan pangan bagi dunia, hingga kini partisipasi dan akses perempuan terhadap kebijakan dan program yang terkait pangan masih terhambat oleh budaya patriarki.
JAKARTA, KOMPAS — Sampai saat ini sebagian besar perempuan di Tanah Air sulit mendapatkan informasi terkait kebijakan dan program pangan, karena perempuan tidak terlibat dalam berbagai kegiatan sosialisasi kebijakan dan program pemerintah. Bahkan perempuan di tingkat akar rumput tidak diundang ketika ada sosialisasi terkait kebijakan dan strategi pemerintah.
Ketika perempuan tidak terlibat dampaknya sangat besar. Bukan saja tidak bisa mengakses program atau kebijakan, perempuan juga tidak terhitung dalam perencanaan pembangunan yang terkait dengan pangan. Akibatnya, perempuan selalu terkecuali atau tidak termasuk dalam agenda-agenda pembangunan, terutama terkait pangan.
Demikian terungkap dalam Laporan Penilaian Pemenuhan Hak Perempuan atas Pangan oleh Perempuan di Komunitas Solidaritas Perempuan, yang diluncurkan, Jumat (9/11/2018) di Jakarta. Laporan ditulis Arieska Kurniawaty, Kepala Divisi Kedaulatan Perempuan Melawan Perdagangan Bebas dan Investasi, Solidaritas Perempuan (SP).
"Perempuan diposisikan sebagai penyedia pangan yang sekaligus bertanggung jawab atas pengasuhan anak, perawatan anggota keluarga, dan mengurus rumah tangga," ujar Arieska.
Ketika penghasilan yang diperoleh suami kurang, perempuanlah yang berpikir keras untuk menambah pemasukan keluarga sehingga kebutuhan dapat tercukupi, termasuk kebutuhan pangan. Namun, peran strategis perempuan tersebut tidak diimbangi dengan akses dan kontrol terhadap sumber daya alam yang adil dengan laki-laki.
"Manakala terkait dengan penguasaan atau hak atas kepemilikan, perempuan akan termarjinalkan. Misalnya, dalam hal kepemilikan tanah, sekitar 80 persen kepemilikan tanah atas nama laki-laki, sehingga perempuan juga kerap tidak diperhitungkan pendapatnya dalam penggunaan, pengelolaan, dan pemanfaatan tanah tersebut,” ujar Arieska.
Melibatkan 504 perempuan
Laporan Penilaian Pemenuhan Hak Perempuan atas Pangan oleh Perempuan melibatkan 504 perempuan dari sejumlah desa/kelurahan di 4 provinsi, yakni Desa Sidodadi dan Cungkeng (Lampung), Desa Kekeri dan Mambalan (Nusa Tenggara Barat), Kelurahan Tallo dan Cambayya (Sulawesi Selatan) dan Desa Winowanga, Maholo, Kuku, dan Saojo (Sulawesi Tengah).
Dalam laporan tersebut, SP juga mengangkat peran ganda perempuan di daerah-daerah tersebut, yang bertanggung jawab dalam urusan keluarga tetapi sekaligus bekerja untuk menopang ekonomi keluarga.
"Harapan kami, laporan ini bisa menjadi referensi bagi seluruh pihak, bagi pembuat kebijakan untuk mendorong kebijakan-kebijakan pangan dengan mencakup keadilan jender, termasuk mereview berbagai kebijakan pembangunan agar tidak merampas dan menghancurkan sumber produksi pangan," ujar Koordinator Program Solidaritas Perempuan Dinda Nuurannisaa Yura.
Selain itu, Dinda juga berharap laporan tersebut bisa menjadi data yang memperkuat perjuangan kedaulatan pangan ke depan. “Ini merupakan upaya Solidaritas Perempuan dalam mendorong pemantauan yang dilakukan perempuan didasarkan pada kesadaran, bahwa perempuan memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam pengelolaan pangan yang sangat relevan untuk disuarakan dan akan berkontribusi dalam mendorong kedaulatan pangan,” katanya.
Sebab, menurut Dinda, berbagai temuan yang didapatkan menunjukkan bahwa persoalan perempuan dan pangan memiliki spektrum yang sangat luas. Tidak hanya bicara soal ketersediaan pangan bagi keluarga, tetapi juga bicara lapisan persoalan akibat budaya patriarki yang menghilangkan identitas dan posisi perempuan produsen pangan, hingga persoalan pembangunan infrastruktur dan investasi yang merampas ruang hidup mereka, termasuk tanah, lahan dan pesisir sumber produksi pangan mereka.
Asisten Deputi Kesetaraan Gender Bidang Ekonomi pada Deputi Partisipasi Masyarakat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Muhammad Ihsan mengapresiasi hasil penilaian tersebut. "Kondisinya memang begitu di lapangan, akses perempuan atas informasi pelatihan masih terbatas, apalagi di tingkat pedesaan," ujarnya.
Selain itu hadir juga memberikan tanggapan atas penilaian tersebuy, Henry Thomas Simarmata, Senior advisor IHCS (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice) dan ahli dalam sidang Uji Materi UU Pangan dari Koalisi untuk Hak atas Pangan.
Pada acara tersebut Lutfatul Azizah, dari SP Mataram, yang menyampaikan terobosan yang dilakukan perempuan petani di Desa Kekeri dan Mambalan, yang mendorong peraturan desa untuk perlindungan lahan pertanian berkelanjutan dan sumber mata air.
Peluncuran Laporan Penilaian Pemenuhan Hak Perempuan atas Pangan oleh Perempuan di Komunitas Solidaritas Perempuan diakhiri dengan penyerahan buku laporan tersebut dari Dinda Nuurannisaa Yura kepada Muhammad Ikhsan.