Arab Saudi dan Gerakan Islam Politik
Aparat Arab Saudi bergerak cepat mengusut kasus terpajangnya bendera hitam yang mengarah pada ciri-ciri gerakan ekstrem di dinding kediaman Muhammad Rizieq Shihab di Mekkah, 5 November lalu. Pasca-Musim Semi Arab 2011, Arab Saudi sangat keras dan memberi hukuman seberat-beratnya terhadap siapa pun yang menggunakan atau memainkan segala jargon, label, atribut, atau lambang apa pun yang berbau gerakan Islam politik.
Menurut keterangan pers Kedutaan Besar Republik Indonesia di Riyadh, Rabu (7/11/2018), Muhammad Rizieq Shihab (MRS) diperiksa aparat kepolisian Mekkah terkait pemasangan bendera hitam yang mengarah pada ciri-ciri gerakan ekstremis di dinding bagian belakang rumahnya di Mekkah.
Kajian tentang perkembangan mutakhir Arab Saudi yang dilakukan para pakar Barat dan Arab selalu dikaitkan dengan peristiwa Musim Semi Arab. Musim Semi Arab tahun 2011 melanda sejumlah negara Arab, seperti Mesir, Suriah, Yaman, Libya, dan Tunisia. Musim Semi Arab telah mengubah secara mendasar pola pikir dan perilaku keluarga besar Al-Saud, terutama generasi mudanya yang berkuasa di Arab Saudi.
Proyek besar Visi Arab Saudi 2030 yang digulirkan Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) sejak April 2016 tak bisa dilepaskan dari dampak peristiwa Musim Semi Arab tersebut. Generasi muda keluarga besar Al-Saud yang dipimpin MBS menyadari bahwa Arab Saudi harus segera melakukan perubahan besar-besaran di semua sektor kehidupan jika tidak ingin gelombang Musim Semi Arab menerpanya suatu saat.
MBS pun berusaha melakukan modernisasi terhadap penafsiran terkait pemahaman keagamaan yang sangat puritan dan ultrakonservatif gerakan Wahabi, yang menjadi dasar negara Arab Saudi. Itulah yang mendorong sejak paruh kedua tahun 2017, gerakan reformasi ekonomi dan sosial-budaya mulai digulirkan, seperti izin mengemudi bagi kaum perempuan, izin bagi operasi bioskop dan konser musik, serta pembangunan kawasan mandiri NEOM di barat laut Arab Saudi senilai 500 miliar dollar AS.
Media massa Arab Saudi menyebut Visi Arab Saudi 2030 adalah Musim Semi Arab Saudi yang digerakkan MBS.
Tutup keran politik
Namun, meski melakukan reformasi ekonomi dan sosial-budaya secara gencar, Arab Saudi masih menutup rapat keran politik. Arab Saudi sepertinya belajar dari kondisi porak porandanya negara Arab lain yang dilanda Musim Semi Arab. Negara itu tak mengizinkan setetes air pun meleleh dari keran politik.
Maka, Arab Saudi menjadi sangat represif terhadap upaya kritik yang disuarakan para aktivis warganya dengan menangkap ulama dan cendekiawan kritis hingga terjadi peristiwa tewasnya wartawan senior asal Arab Saudi, Jamal Khashoggi, di Istanbul, Turki, pada 2 Oktober lalu. Khashoggi adalah salah satu sosok yang kritis terhadap MBS.
Dalam konteks geopolitik, Arab Saudi kini menetapkan gerakan Islam politik sebagai musuh besarnya karena gerakan itu dianggap mengancam keamanan dan eksistensi negara serta kekuasaan keluarga besar Al-Saud. Pada 7 Maret 2014, Arab Saudi menetapkan sembilan kelompok Sunni dan Syiah sebagai organisasi teroris. Di antara mereka, yaitu (dari jaringan Syiah) kelompok Houthi di Yaman dan Hezbollah di Lebanon (jaringan Syiah), serta (dari jaringan Sunni) Al Qaeda, Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), dan Ikhwanul Muslimin (IM).
Arab Saudi mulai menyadari ancaman gerakan Islam politik itu setelah IM sempat berkuasa di Mesir selama setahun (2012- 2013) dan menjadi kekuatan politik kedua di Tunisia lewat Partai Ennahda serta kini menguasai kota Tripoli, Libya.
Arab Saudi pun kini memimpin kaukus anti-gerakan Islam politik (jaringan IM dan Iran) yang menghimpun Mesir, Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, dan Pemerintah Libya pro-Jenderal Khalifa Haftar. Karena itu, kubu Arab Saudi kini bertarung cukup keras lawan Iran yang memimpin gerakan Islam politik dari dunia Syiah, serta lawan duet Turki- Qatar yang memimpin gerakan Islam politik dari dunia Sunni.
Negara-negara tersebut bersatu melawan jaringan NIIS dan Al Qaeda, tetapi terpecah terkait jaringan IM. Arab Saudi sejak Juni 2017 bersama Mesir, Bahrain, dan UEA memimpin aksi blokade terhadap Qatar.
Di Yaman, Arab Saudi dan UEA sejak Maret 2015 terlibat perang langsung dengan kelompok Houthi yang pro-Iran. Di Libya, Arab Saudi mendukung Jenderal Khalifa Haftar untuk meredam pengaruh gerakan Islam politik (IM) di negara itu.
Di Lebanon, Arab Saudi mendukung Perdana Menteri Saad al-Hariri dalam melawan pengaruh Hezbollah. Di Suriah, Arab Saudi tidak ngotot lagi mendongkel rezim Presiden Bashar al-Assad karena khawatir IM akan berkuasa di Damaskus jika rezim Assad tumbang.
Keras di dalam negeri
Di dalam negeri, Arab Saudi kini sangat keras dan memberi hukuman seberat-beratnya terhadap siapa pun yang menggunakan atau memainkan segala bentuk jargon, label, atribut, atau lambang apa pun yang berbau gerakan Islam politik, seperti IM, NIIS, Al Qaeda, Hezbollah, dan gerakan Islam radikal lainnya.
Sikap Arab Saudi yang anti-gerakan Islam politik, khususnya jaringan IM, pasca-Musim Semi Arab itu merupakan perubahan luar biasa di negara tersebut. Pasalnya, Arab Saudi sebelum ini dikenal sangat akomodatif terhadap IM dan menjadi tempat berlindung tokoh-tokoh IM yang lari dari Mesir sejak 1950-an.
Negara Arab Saudi lahir dari kolaborasi dua kekuatan politik dan agama, yaitu Ibn Saud (sayap politik) dan Muhammad Ibn Abd al-Wahhab (sayap agama), pendiri dan pemimpin gerakan Islam puritan Wahabi. Kolaborasi dua kekuatan politik dan agama itu tecermin dalam konstitusi negara Arab Saudi, yang menegaskan konstitusi Arab Saudi adalah Al Quran dan sunah rasul.
Namun, ancaman keamanan terhadap kekuasaan dan eksistensi keluarga besar Al-Saud menjadi barometer bagi penentuan sikap dan perilaku politik negara Arab Saudi sejak berdirinya tahun 1932. Munculnya pandangan Arab Saudi tentang ancaman keamanan dari IM pasca- Musim Semi Arab itu menjadi faktor utama perubahan sikap politik negara tersebut terhadap jaringan IM di dalam negeri Arab Saudi sendiri ataupun di kawasan Timur Tengah.
Jika pada era tahun 1950-an dan 1960-an terbangun kemitraan Arab Saudi-IM dalam menghadapi ancaman keamanan dari rezim militer di Mesir, pasca- Musim Semi Arab lahir kemitraan Arab Saudi-rezim militer di Mesir untuk melawan ancaman keamanan dari IM dan gerakan radikal lainnya. Maka, dalam konteks tersebut, bisa dibaca sikap Arab Saudi yang sangat sensitif dan represif terhadap apa pun yang berbau atau mengarah pada gerakan Islam politik (IM) dan gerakan radikalisme (NIIS dan Al Qaeda).