Lebih dekat ke Singapura daripada ke Bandung. Sebenarnya bukan lebih dekat, tetapi lebih cepat. Untuk mencapai Singapura dari Jakarta hanya butuh sekitar 1 jam 40 menit dengan pesawat. Sementara untuk tiba di Bandung dari Jakarta saat ini butuh hingga lebih dari 4-5 jam dengan menggunakan mobil pribadi. Bahkan, pekan kemarin seorang rekan bercerita, dia habiskan lebih dari 8 jam untuk mencapai Bandung.
Banyaknya waktu terbuang di jalan membuat banyak orang Jakarta kini menghindar bepergian ke Bandung. Selama ini pada saat akhir pekan, urang Bandung mengistilahkan kemacetan di kotanya sebagai ”Bandung Lautan Jakarta” karena banyaknya mobil berpelat ”B” memenuhi jalanan Bandung.
Salah satu simpul utama kemacetan Jakarta-Bandung dan sebaliknya adalah di ruas Tol Jakarta Cikampek. Kendaraan yang memadat di tol itu sering lebih mirip tengah parkir daripada bergerak menempuh perjalanan. Kemacetan terjadi nyaris setiap hari, selama lebih kurang satu tahun terakhir.
Setidaknya ada tiga penyebab kemacetan tersebut, yaitu proyek pembangunan Jalan Tol Becakayu, pembangunan jalur kereta ringan (LRT) yang dilakukan secara bersamaan sejak 2017, serta imbas dari pembangunan Jalan Tol Jakarta-Cikampek Layang.
Kemacetan yang terjadi terkesan dibiarkan begitu saja. Warga diminta menerima apa adanya, mencari jalan sendiri untuk keluar dari kemacetan yang merugikan itu.
Sebenarnya ketentuan mengenai pembangunan di tol sudah diatur dalam Pasal 52 Undang-Undang RI Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan. Di situ antara lain disebutkan, ”(1) Dalam hal pembangunan jalan tol melewati jalan yang telah ada, badan usaha menyediakan jalan pengganti. (2) Dalam hal pembangunan jalan tol berlokasi di atas jalan yang telah ada, jalan yang ada tersebut harus tetap berfungsi dengan baik. (3) Dalam hal pelaksanaan pembangunan jalan tol mengganggu jalur lalu lintas yang telah ada, badan usaha terlebih dahulu menyediakan jalan pengganti sementara yang layak…”
Namun, seperti diwartakan Kompas (8/10/2018), bukan saja tidak diberikan jalan pengganti, warga yang terhambat akibat pembangunan jalan tol tersebut tidak mendapatkan kompensasi apa pun. Mereka harus tetap membayar seperti biasa untuk memasuki jalan tol tersebut. Masih macetnya arus lalu lintas jalan tol walaupun pengguna sudah membayar sudah lama menjadi keluhan. Alasan yang dikemukakan pengelola jalan tol, biasanya lebih mirip melempar badan. ”Kemacetan bukan terjadi di jalan tol, tetapi imbas dari kemacetan di luar jalan tol”.
Ketika kemacetan justru terbukti di jalan tol, rupanya ada jurus lain yang dikeluarkan. Seperti dikemukakan Hendra Damanik dari Humas PT Jasa Marga Cabang Tol Jakarta-Cikampek, mereka bisa memberikan kompensasi terhadap konsumen. Jumlah pengendara yang mengakses tol pun menurun sejak proyek pembangunan dilaksanakan. ”Jumlah kendaraan yang melintas di Tol Jakarta-Cikampek berkurang sekitar 100.000 kendaraan per hari,” kata Hendra.
Begitulah. Mungkin cuma di kita, pengguna jalan tol membayar untuk menikmati kemacetan di ruasnya. Pengelola jalan tol sudah tahu itu, toh mesin duit tol terus berjalan dan dibangun terus.
Dari pengelola sejauh ini belum ada kebijakan yang diterapkan untuk mematuhi Pasal 52 UU No 38/2004 tersebut. Pengelola pun menyatakan tidak dapat mengatasi masalah macet di tol sendirian, tetapi butuh kerja sama dengan pihak terkait lain. Baru pada hari ini, Minggu (11/11/2018), pukul 10.00 dijadwalkan ada rapat membahas solusi macet di Tol Jakarta-Cikampek di kantor Jasa Marga Cikarang Utama.
Baiknya para pejabat yang ikut rapat hari ini bersandar pada undang-undang yang berlaku. Hak dan perlindungan masyarakat adalah yang nomor satu.