Kapal Borobudur
Museum Maritim Hong Kong merupakan tempat yang pas untuk mempelajari sejarah maritim. Museum ini merekam sejarah maritim China mulai dari zaman Dinasti Song (960 M-1279 M) hingga Dinasti Qing (1644-1912) dan sejarah maritim Hong Kong era modern.
Museum Maritim Hong Kong terletak di dermaga Central Pier nomor 8 yang menghadap ke Pelabuhan Victoria. Bangunan museum ini terlihat menonjol dari jauh karena dibangun di atas dermaga yang menjorok ke tengah laut. Harga tiket cukup murah setara dengan tiket bioskop di Jakarta, yakni 30 dollar Hong Kong (sekitar Rp 60.000), sedangkan untuk manula atau anak-anak harga tiket setengahnya.
Museum Maritim Hong Kong terdiri atas empat lantai yang disebut dek atau geladak kapal. Benda koleksi disimpan di dek A, B, dan C, sedangkan perpustakaan, kantor museum, dan ruang seminar ada di dek paling bawah, yaitu dek D.
Museum ini menyimpan lebih dari 1.200 koleksi terkait dengan sejarah maritim China dan Hong Kong dalam rentang 3.000 tahun. Koleksi terdiri dari keramik sekitar 300 buah, maket kapal yang jumlahnya mencapai 100 buah, lukisan, peta, foto, peralatan navigasi, dan benda-benda yang berhubungan dengan kemaritiman.
Saat kami mengunjungi Museum Maritim Hong Kong, Oktober lalu, museum sedang sepi karena bukan hari libur. Ada beberapa rombongan anak sekolah bersama gurunya dan beberapa wisatawan asing. Pengunjung akan memasuki dek C setelah membeli tiket. Dek C berisi benda koleksi tentang sejarah awal maritim di China mulai era Dinasti Song sampai Dinasti Qing.
Sejumlah maket kapal menampilkan kapal kayu paling sederhana hingga kapal kayu yang mampu menjelajahi samudra untuk berdagang ke seluruh dunia. Salah satu koleksi Museum Maritim Hong Kong yang menarik adalah maket kapal yang dibuat berdasarkan relief di Candi Borobudur. Maket kapal Borobudur itu dipajang di galeri terdepan museum bersama beberapa maket kapal kayu kuno dari China.
Tidak banyak keterangan tentang maket kapal Borobudur yang memiliki ciri bercadik itu. Keterangan di bawah maket kapal hanya menerangkan bahwa kapal dibuat pada abad 8-9 Masehi yang berasal dari Indonesia. ”Kapal yang digunakan para pelaut dari Jawa untuk berlayar ke Madagaskar pada masa Dinasti Tang (618-907 M)”, demikian keterangan singkat yang tertera di bawah maket kapal.
Meskipun hanya sekelumit keterangan tentang perahu bercadik Borobudur itu, muncul perasaan bangga. Nenek moyang bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim diakui di arena internasional.
Koleksi museum yang ada hubungannya dengan Indonesia adalah tentang sosok Cheng Ho atau Sam Poo Tay Djien atau Zheng He (1371-1433). Sejarah singkat Cheng Ho dan maket kapal dalam armada yang dipimpinnya juga dipajang. Cheng Ho hidup pada masa kekuasaan Kaisar Yongle, kaisar ketiga Dinasti Ming (1368-1644). Cheng Ho bukan laksamana dalam pengertian militer, melainkan seorang utusan atau diplomat. Namun, Cheng Ho memang memimpin armada ekspedisi yang besar. Cheng Ho adalah seorang Muslim yang berjasa menyebarkan agama Islam di Nusantara. Banyak masjid yang diberi nama Cheng Ho, antara lain di Surabaya, Palembang, Purbalingga, Banyuwangi, dan Batam.
Sejarah VOC
Koleksi Museum Maritim Hong Kong di dek C menampilkan jejak sejarah perdagangan bangsa Barat di Asia. Bangsa-bangsa Barat mendirikan kongsi dagang untuk memperlancar urusan dagang dengan China dan kawasan Asia lainnya. Inggris yang pertama mendirikan East India Company (EIC) tahun 1600, diikuti Belanda mendirikan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) tahun 1602.
Bangsa lain meniru VOC dan EIC. Swedia mendirikan Svenska Ostindiska Companiet. Perancis mendirikan Compagnie Perpetuelle des Indes. Denmark mendirikan Asiatisk Kompagni. VOC berkembang pesat daripada EIC karena lebih agresif. VOC berani menghadapi Portugis dan Spanyol yang lebih dulu membangun bisnis di China. Sayangnya, informasi di museum sangat sedikit menceritakan sepak terjang VOC di Nusantara.
Sebagai catatan, tahun 1622 VOC menaklukkan Kepulauan Banda untuk memonopoli rempah. Mulai saat itu VOC semakin berjaya. Inilah awal sejarah kelam VOC yang kelak membuat jutaan penduduk Nusantara menderita.
Koleksi terpenting dan terunik di Museum Maritim Hong Kong ada dua, yaitu lukisan gulung milik Alexander Hume di dek C dan simulator ruang kemudi kapal dengan teknologi canggih di dek A. Lukisan gulung Alexander Hume adalah lukisan raksasa di atas kain sutra berukuran panjang 276,5 cm dan lebar 91,5 cm.
Lukisan yang dibuat sekitar tahun 1772 tersebut menggambarkan suasana di Pelabuhan Kanton. Dalam lukisan tampak deretan bangunan, antara lain gedung kongsi dagang Denmark, Perancis, Swedia, Inggris, dan Belanda dengan bendera masing-masing. Alexander Hume (1726-1794) adalah kepala kantor East India Company di Kanton tahun 1770-1774. Hume memesan lukisan yang indah ini ketika dia akan mengakhiri masa tugasnya di China. Namun, sampai sekarang tidak diketahui siapa pelukisnya. Dalam katalog museum hanya disebutkan pelukisnya adalah ”Seniman China”.
Simulator ruang kemudi kapal disebut KM Koo Ship Bridge Simulator. Simulator canggih ini bernilai 4,7 juta dollar Hong Kong yang diresmikan tahun 2016. Pengunjung museum dapat mencoba simulator ini secara gratis. Namun, simulator hanya dibuka untuk pengunjung pada Sabtu, Minggu, dan hari libur. Pengunjung dapat merasakan sensasi mengemudikan berbagai jenis kapal yang berlayar di perairan Hong Kong dan di Pelabuhan Victoria.
Cuaca di luar kapal dapat diatur, misalnya cuaca cerah atau badai. Simulator ini terasa nyata karena dilengkapi peralatan yang persis dengan peralatan di ruang kemudi sebuah kapal. Pengunjung yang masuk dalam simulator seolah bergoyang bersama kapal, padahal sebenarnya tidak.
Banyak sejarah maritim yang bisa digali dari kunjungan ke Museum Maritim Hong Kong, juga titik awal menggali sejarah bangsa Indonesia. Museum ini mengajarkan bahwa bangsa yang menguasai lautan akan menjadi bangsa yang besar.