Semoga Axl Sehat Terus
Permulaan November ini terasa menggetarkan bagi penyuka rock di Indonesia. Tembang ”Bohemian Rhapsody” milik Queen dibicarakan lagi akibat film biopik berjudul sama yang tayang di bioskop sejak 30 Oktober. Momen berikutnya adalah konser raksasa Guns N’ Roses, band pemilik lagu ”November Rain”, di Gelora Bung Karno, Jakarta, Kamis (8/11/2018). Dua peristiwa itu memunculkan reaksi berbeda.
Aktor Rami Malek yang memerankan Freddie Mercury di film Bohemian Rhapsody dipuja-puji. Film yang telah mencetak penghasilan lebih dari 60 juta dollar AS itu dipercaya memantapkan rotasi perputaran katalog Queen di penyedia musik streaming, modus operandi mendengar musik bagi generasi terkini.
Itu adalah ”nasib baik” Queen saat ini. Band ini masih berkonser dengan vokalis tamu Paul Rodgers atau Adam Lambert. Cerita berbeda dialami Guns N’ Roses (GNR). Dua tahun lalu grup yang tercerai-berai ini memulai tur dunia dengan pesona reuni.
Axl Rose, pendiri dan vokalis band, berkumpul lagi dengan dua karib lamanya yang pergi meninggalkan band lebih dari dua dekade silam. Mereka adalah gitaris Slash dan Duff McKagan pada bas. Axl, Slash, dan Duff adalah tiga dari lima personel asli band yang berdiri pada 1986 ini. Dua lainnya, Steven Adler (drum) sempat main di beberapa jadwal, sementara Izzy Stradlin (gitar) tidak ikutan sama sekali.
Lima sekawanan itulah yang dulu melahirkan album debut Appetite for Destruction (1987), yang dianggap sebagai salah satu album debut rock terbaik sepanjang masa. Siapa yang bisa menyangkal bahwa ”Welcome to the Jungle” dan ”Sweet Child O Mine” adalah karya abadi. Oleh karena itu, penggemar menganggap lima pilar itu merupakan formasi klasik band.
GNR memberikan judul tur itu ”Not in This Lifetime” alias ”mustahil terjadi di kehidupan ini”. Konon, itu adalah ungkapan sinis Axl Rose setiap ditanya kemungkinan GNR berkumpul lagi dengan formasi klasik. Kesinisan Axl melunak. Vokalis kelahiran 6 Februari 1962 ini berdamai dengan Slash.
Duff bersedia gabung. Mereka ”menjajal” taji dengan bermain di klub bernama Troubadour di Hollywood, AS, tempat mereka dulu mengawali kariernya. Pertunjukan pada 1 April 2016 itu ditonton 500-an orang. Pada bulan yang sama, mereka sudah menjadi penampil utama di festival akbar Coachella. Setelah itu mereka tancap terus.
Hingga kini, Axl, Slash, Duff, ditambah kibordis Dizzy Reed, Richard Fortus (gitar ritem), Frank Ferrer (drum), dan Melissa Reese (kibor) menjalani 10 babak (leg) perjalanan keliling dunia dengan 159 jadwal yang telah dan bakal dijalani. Billboard dan lembaga Pollstar menghitung pendapatan dari rangkaian tur itu mencapai 480,9 juta dollar AS.
Pada babak keempat di awal 2017, GNR sempat menyambangi wilayah selatan, yaitu Selandia Baru, Australia, Thailand, dan Singapura. Indonesia terlewatkan. Kesempatan itu baru terjadi di babak kesepuluh pada Kamis, 8 November lalu, di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta.
Suara bermasalah
Konser dengan harga tiket festival terdepan Rp 1,5 juta ini mulai pukul 20.10, sepuluh menit lebih lama dari jadwal semestinya. Lagu pertama mereka adalah ”It’s So Easy”, seperti yang selalu terjadi di setiap pertunjukan pada rangkaian tur ini. Gemuruh di bagian intro menjadikannya lagu itu terasa pas sebagai permulaan.
Deru rock n roll itu mereka lanjutkan di lagu kedua, ”Mr Brownstone”. Suasana di baris depan yang padat makin panas. Ponsel yang teracung belum disurutkan. Koor massal makin menggema, sampai-sampai suara vokal Axl terdengar sayup-sayup saja.
Namun, sepertinya bukan salah penonton yang ”menutupi” suara Axl. Suaranya tetap tipis meski lengkingannya tak lagi tinggi. Napasnya tak lagi panjang. Si pirang ini terlihat mengambil jeda di bagian lengkingan setelah berulang-ulang melafalkan ”so down” di lagu ”Welcome to the Jungle”. Itu baru lagu keempat.
Di lagu keempat itu pula dia pertama kali menyapa penontonnya. Ia melantangkan teriakan legendarisnya, yang sedikit diubah menjadi ”Do you know where you are? You’re in jungle, Jakarta. You’re gonna die,” ujarnya sambil menyeringai. Di luar tubuh yang menggempal, dan suara yang tak prima, tatapan matanya masih membeliak.
Suara vokal dia terdengar timbul-tenggelam; kadang keras, kadang lirih, sering juga fals. Sempat muncul dugaan ada kesalahan pada sistem tata suara. Namun, kekurangan itu konstan terjadi, sementara produksi bunyi di departemen musik baik-baik saja, bahkan terbilang prima.
Bunyi gitar Slash di lagu bagian melodi ”Estranged” membius sekali. Hingga lagu ketujuh ini, Slash telah berganti gitar empat kali. Kali ini dia pakai Gibson Les Paul berkelir emas yang terlihat kuyup oleh keringatnya. Ia menaikkan leher gitarnya hingga seperti jarum jam menunjuk angka 1.
Tarikan melodi Slash paling menghanyutkan adalah ketika dia memainkan lagu dari film The Godfather, ”Speak Softly Love”. Sementara itu, Richard Fortus adalah tandem yang baik. Mereka berduet di lagu milik Pink Floyd ”Wish You Were Here”, minus kehadiran Axl. Lagu instrumentalia itu mengawali ”November Rain” yang menggunakan piano grand Baldwin di sisi depan. Dengan jemari gemuknya, Axl memencet tuts demi tuts menggiring penonton bernostalgia.
Kepanjangan
Hujan tak turun saat lagu dari album Use Your Illusion itu melantun. Tapi, kesenduannya tak hilang karena layar lebar di latar dan samping panggung menampilkan efek hujan, sebuah tipuan visual yang agak norak. Lagu itu diikuti dengan ”Black Hole Sun” milik Soundgarden yang salah satu liriknya berbunyi ”Black hole sun, won’t you come to wash away the rain?”.
Selain memainkan lagu-lagu kondangnya, GNR juga membawakan tak kurang dari sepuluh lagu cover version, di antaranya adalah ”The Seeker” dari The Who yang muncul di bagian encore, ”Knockin’ On Heaven’s Door” (Bob Dylan), ”Slither” (Velvet Revolver), dan ”Attitude” (The Misfits). Judul terakhir itu dinyanyikan Duff dengan amat baik. Ternyata dia punya suara bagus, jauh lebih bagus daripada Axl.
GNR memainkan 27 lagu dengan durasi sekitar tiga jam. Bagian encore berisi lima lagu, termasuk ”Don’t Cry” yang sentimentil itu. Bagi beberapa penonton, durasi yang panjang itu menyenangkan, tetapi ada juga yang merasa kelelahan.
”Saya bingung juga kita (penonton) bisa betah mendengarkan suara Axl yang seperti itu selama tiga jam. Tapi, karisma dia sebagai frontman tidak luntur, ya,” kata Dwi Kurniawan (42), penonton dari Karawang, Jawa Barat, ini. Keluhan perihal kualitas suara Axl kerap terdengar selepas konser bubar sekitar pukul 23.00.
Penonton lainnya, Rendy Saputra (39), mengaku puas akan konser malam itu, bahkan terlampau puas. ”Gue suka pilihan lagunya. Ada lagu ’Coma’ yang durasinya panjang banget. Itu lagu keren, sayang suaranya Axl kedodoran banget di situ, ya. Untuk nonton mereka lagi kayaknya enggak, deh. Kecuali kalau Izzy (Stradlin) gabung lagi,” ujarnya.
Keluhan terhadap suara Axl dirasakan hampir semua penonton, terutama mereka yang menikmati masa remaja di akhir 1980-an dan awal 1990-an ketika lengkingan Axl masih prima. Malam itu, Axl seperti orang lain, bukan dia lagi. Axl seperti sudah ”mati”. Saking ambruknya kualitas suara Axl, bahkan jika dia diminta karaoke menyanyikan lagunya sendiri skornya tak akan bisa lebih dari 65 poin.
”Banyak penonton yang berharap lebih, tetapi suara Axl tak bagus lagi. Padahal, penampilan lainnya masih sangat oke. Kelebihan konser malam ini adalah kita bisa bernostalgia dengan lagu-lagu GNR,” kata Sandy, penggebuk drum PAS Band.
Yang juga menjadi sorotan penonton, konser reuni ini pelit sekali dialog. Panggung terang ketika mereka bernyanyi, lalu gelap tatkala lagu usai, kemudian terang lagi ketika lagu berikutnya. Tak ada cerita-cerita atau narasi tentang band yang melegenda ini sehingga suasana konser sering anyep.
Tapi, bagaimanapun, GNR tetap menghibur dan pertunjukan kedua di tur babak kesepuluh ini sudah tuntas. Mereka bersiap manggung di Filipina, Malaysia, Taiwan, dua pertunjukan di Hong Kong, Abu Dhabi, ditutup di Hawaii, AS. ”Semoga penonton di negara lain terhibur. Semoga juga Axl sehat terus,” harap Rendy, yang tentu menjadi harapan banyak penggemar GNR di negara-negara tadi.