Tarian Demokrasi Ketubuhan
Ketubuhan setiap individu sudah mencerminkan adanya aneka perbedaan, baik secara fisik, pikiran, perasaan, atau keyakinan yang mungkin bisa memicu intoleransi. Namun, perbedaan itu sekaligus modal bagus untuk merayakan indahnya toleransi, yang di antaranya bisa dirayakan lewat tarian demokrasi ketubuhan.
Festival Tari Indonesia atau Indonesian Dance Festival (IDF) 2018 berlangsung di Jakarta, 6-10 November 2018, mengambil tema ”Demo/Cratic Body: How Soon is Now?” Di sini ditampilkan tarian-tarian kontemporer merujuk tema ekspresi demokrasi ketubuhan, yang dibahasakan kurator IDF Helly Minarti sebagai ekspresi kemerdekaan memerintah diri sendiri.
Para koreografer tarian datang dari beberapa kota dalam negeri dan enam negara lain, seperti Korea Selatan, Singapura, Meksiko, Jerman, India, dan Australia.
”Hijra”
Menjelang pembukaan IDF, Rabu (6/11/2018), ditampilkan seni pertunjukan ”Hijra” karya koreografer Rianto (37) di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM). Rianto kini menetap di Tokyo sejak 2003. Sebelumnya, ia menekuni tarian Jawa klasik lintas jender, terutama Tari Lengger khas Banyumas, tanah kelahirannya.
Hijra menyingkap perjalanan Rianto sebagai lengger lanang Banyumas. Lengger lanang dituntut mampu mengekspresikan diri sebagai penari laki-laki, sekaligus juga perempuan.
Hijra dimaknai Rianto sebagai proses migrasi jasmani dan rohani sekaligus. Ini melintasi batasan jender. Di dalam pertunjukan, Rianto dan beberapa penari pria lainnya menampilkan proses migrasi itu dengan lugasnya. Mereka masuk arena pentas dan dikelilingi para penontonnya. Mereka menari dengan gagahnya sebagai lengger lanang (laki-laki). Ada jeda sejenak. Tetap di arena pentas yang ada di muka pintu masuk Teater Jakarta TIM itu, mereka beralih rupa dan menari sebagai perempuan-perempuan penari lengger.
Dalam hitungan detik, para penari yang semula menari gagah sebagai pria, lalu berubah menjadi perempuan yang menari penuh gemulai. Migrasi jasmani dan rohani sekaligus, seperti diungkap Rianto, tergambar begitu jelasnya. Ini tarian demokrasi ketubuhan Rianto. Ini disuguhkan Rianto sebagai perayaan atas indahnya toleransi.
Pada hari berikutnya, koreografer Otniel Tasman (29) menampilkan karya ”Nosheheorit” di gedung Kesenian Jakarta, yang menukik jauh lebih ke dasar kehidupan nyata seorang penari lengger lanang Banyumas bernama panggung Dariah.
”Performance saya ini mengisahkan seorang lengger lanang, Mbok Dariah, yang hidup sampai 98 tahun. Istimewanya, dalam keseharian dia berekspresi bebas seperti berbaju kebaya, berkain sarung, dan ini diterima masyarakat di sekelilingnya,” ujar Otniel.
Nosheheorit berdurasi sekitar 50 menit. Dariah secara fisik sebagai laki-laki. Akan tetapi, ekspresinya perempuan. Bahkan, tertera di KTP-nya sebagai perempuan. Tahun kelahirannya tertulis di KTP tahun 1921. Otniel mengatakan, Dariah meninggal pada Februari 2018 dalam usia yang cukup panjang hingga menjelang 98 tahun.
”Di Banyumas, tempat tinggal Mbok Dariah tidak jauh dari rumah saya. Kalau naik sepeda motor, kira-kira perjalannya 10 menit saja,” ujar Otniel.
Otniel menyebut Dariah sudah berhasil nyawiji atau menyatu. Dariah berhasil menyatukan jasmaninya sebagai laki-laki dan rohaninya sebagai perempuan.
Otniel sering mengunjungi Dariah semasa masih hidup dan mengamati kesehariannya dari waktu ke waktu. Selama 20 tahun terakhir, Dariah tinggal seorang diri di rumahnya. Sebelumnya, ia pernah hidup bersama seorang laki-laki sebanyak dua kali.
”Nyawiji”
Otniel lugas menyuguhkan pengertian nyawiji atau menyatu di dalam pertunjukan ”Nosheheorit”-nya. Tiba-tiba seorang penari laki-laki memeluk penari perempuan dari belakang.
Adegan berikutnya, penari perempuan itu menggendongnya. Dalam gendongannya, penari laki-laki itu berputar ke bagian depan tubuh perempuan itu. Tetap pada posisi penari laki-laki digendong dari depan oleh penari perempuan.
Keduanya nyawiji, menjadi satu. Begitulah, Dariah. Ia hidup nyawiji dan meraih kemerdekaan atas tubuhnya sendiri.
”Mbok Dariah bisa hidup panjang mencapai 98 tahun itu karena nyawiji dan berhasil mengatasi persoalan lintas jender, sekaligus tekanan sosial masyarakat di sekelilingnya,” kata Otniel.
Rianto dan Otniel hanya bagian kecil dari sekian banyak koreografer yang mengekspresikan tema ”Demo/Cratic Body: How Soon is Now?” di dalam IDF atau Festival Tari Indonesia yang menginjak usia 26 tahun itu. Festival ini digagas para pengajar Program Studi Seni Tari Fakultas Seni Pertunjukan Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Dialog Timur dan Timur
IDF 2018 menghadirkan deretan nama koreografer selain Rianto, Otniel, Eun-Me Ahn, juga meliputi Darlane Litaay, Ari Dwianto, Ayu Permata Sari, Densiel Prismawati Lebang, Alisa Soelaeman, Riyo Tulus Pernando, I Putu Bagus Bang Sada Graha Saputra, dan Natasha Tontey dari Indonesia.
Karya pertunjukan lain disuguhkan para koreografer dari luar negeri yang meliputi Pat Toh (Singapura), Mariana Arteaga Vazquez (Meksiko), Claudia Bosse/theatercombinat (Jerman), Padmini Chettur (India), dan Melanie Lane (Australia). Yayasan Seni Budaya Jakarta (YSBJ) yang diketuai aktor Slamet Rahardjo Djarot menjadi penyelenggara IDF 2018 ini.
”Kita bisa melihat bentuk-bentuk seni pertunjukan, terutama dari Indonesia dan beberapa negara belahan Timur. Di sini terjadi dialog antara Timur dan Timur yang selama ini tidak pernah dibahas,” kata Slamet Rahardjo.
Slamet menyebutnya, ada getaran dari pertemuan bentuk seni pertunjukan antara Timur dan Timur. Ini masih perlu dibahas.
IDF 2018 dihela tiga direkturnya yang meliputi Maria Darmaningsih (Direktur Program), Nungki Kusumastuti (Direktur Keuangan), dan Melina Surya Dewi (Direktur Penelitian dan Pengembangan). Pemerintah Perancis, dalam hal ini Kementerian Pendidikannya memberikan penghargaan kepada Maria Darmaningsih atas konsistensi keterlibatannya dalam penyelenggaraan IDF ini.
IDF 2018 juga menyampaikan IDF Award kepada tokoh Gusmiati Suid (1942-2001) sebagai seniman yang konsisten mengembangkan seni tari Minang, Sumatera Barat.
Di dalam sambutan mereka, tiga direktur IDF 2018 itu mengajak insan seni pertunjukan di Tanah Air untuk terus menggali akar dan melebarkan pandangan. Demokrasi ketubuhan patut untuk terus digali karena ini bisa melebarkan pandangan.