Berharap pada JKN yang Berkualitas
Program JKN-KIS memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat. Perbaikan kualitas layanan perlu terus ditingkatkan agar setiap peserta di manapun berada mendapat pelayanan yang sama bagusnya.
Keringat menetes dari dahi Elly Mawati (51). Ia baru saja tiba di ruang pendaftaran Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta, setelah lebih dari satu jam berada di perjalanan. Saat itu sekitar pukul 08.30, antrian pendaftaran yang didapatkannya sudah sampai nomor 387.
Itu berarti sekitar satu jam lagi ia harus menunggu untuk bisa masuk ke bagian rehabilitasi medik dan kemudian menunggu lagi untuk mendapatkan perawatan fisioterapi.
“Sudah hapal saya. Kalau sampai di rumah sakit jam delapan, berarti baru ditangani (fisioterapi) jam satu siang nanti. Butuh seharian kalau memang mau ke sini (RSCM),” katanya.
Kamis (8/11/2018) adalah jadwal Elly harus menjalani fisioterapi pascaoperasi kanker serviks Juli 2016. Menurut dokter yang menanganinya, ia perlu melakukan fisioterapi minimal seminggu dua kali. “Tapi ini saya baru datang setelah sebulan tidak periksa,” katanya.
Berbagai kendala menjadi alasannya, mulai dari kondisi tubuhnya yang sedang lemah hingga kendala teknis karena surat rujukan miliknya ditolak oleh rumah sakit. Akhir Oktober lalu, ia sudah datang ke RSCM untuk perawatan, tetapi surat rujukannya ditolak sehingga ia harus kembali ke fasilitas kesehatan tingkat pertama tempat ia didaftarkan untuk mendapatkan surat rujukan yang baru.
“Peraturan BPJS Kesehatan sering berubah-ubah jadi sepertinya sistemnya juga berubah. Awal dulu, surat rujukan itu berlaku seumur hidup, lalu ganti lagi, dan ganti. Sampai sekarang surat rujukan hanya berlaku sampai tiga bulan. Padahal penyakit saya ini, kan, sudah rutin jadwal(perawatan)nya,” keluh Elly.
Selain terkait rujukan, terkadang obat yang diperlukan tidak tersedia di fasilitas kesehatan. Pernah ia baru mendapatkan obat terapi setelah tiga bulan operasi dilakukan. Padahal, satu-satunya terapi yang ia butuhkan adalah melalui terapi oral tersebut.
Keluhan serupa juga disampaikan oleh Indra Tutiyati (53) yang secara rutin harus melakukan kemoterapi pascaoperasi kanker payudara setiap enam bulan sekali di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta. Bahkan, pada kasus Tuti, ia harus mengantre sejak tiga bulan sebelum jadwal kemoterapinya dilakukan.
“Dulu itu dari jam satu pagi, orang-orang sudah mulai antre di rumah sakit. Kebanyakan yang berasal dari daerah yang sampai nginep di rumah sakit. Saya yang datang jam lima pagi bisa dapat nomor antrean 900. Untung sekarang sudah lebih baik, tidak ada yang berebutan sampai pingsan,” cerita Tuti.
Memudahkan
Keluhan lain yang juga diungkapkan oleh Tuti adalah dokter yang dibutuhkan tidak berada di rumah sakit. Akibatnya, ia harus datang kembali di lain hari.
Di tengah kendala yang dialami oleh Elly dan Tuti, mereka tetap merasa bersyukur dengan adanya layanan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Kebutuhan akan akses kesehatan lebih mudah dijangkau, terutama untuk mereka yang berpenghasilan rendah.
Bagi banyak orang terutama mereka yang menderita penyakit katastrofik program JKN-KIS sangat membantu. Mereka tidak perlu takut lagi jatuh miskin ketika berobat karena pengobatan penyakit katastrofik selain rumit juga memerlukan biaya besar. Kanker adalah contohnya.
Masyarakat yang semula tidak bisa atau tidak mampu mengakses layanan kesehatan pun akhirnya berbondong-bondong berobat. Antrean pasien di fasilitas kesehatan pun mengular. Di rumah sakit rujukan nasional yang pasiennya berasal dari seluruh daerah pasien bisa berburu nomor antrean sejak dini hari.
Meski sudah banyak perbaikan sejak JKN-KIS diimplementasikan tahun 2014 hingga kini hampir genap lima tahun implementasi persoalan kualitas masih saja ada masalah.
Penyintas kanker sekaligus pendiri Cancer Information and Support Center (CISC) Aryanthi Baramuli Putri, menyatakan, dirinya sangat bersyukur ada JKN-KIS yang menanggung biaya pengobatan kanker. Perbaikan dalam sebaran fasilitas pun dinilai ada perbaikan.
"Dulu waktu tunggu untuk radioterapi bisa yang sampai setahun. Sekarang sudah menurun jadi sekitar tiga bulan bahkan di beberapa tempat ada yang bisa langsung," kata Aryanthi.
Begitu juga dengan waktu tunggu tindakan operasi yang kian cepat.
Meski begitu, ada aspek pelayanan lain yang masih harus ditingkatkan. Yang paling ramai dikeluhkan pasien kanker saat ini adalah surat rujukan yang masa berlakunya tiga bulan.
Bisa dibayangkan pasien kanker dengan kondisi kesehatannya yang menurun apalagi yang berasal dari luar Jawa harus bolak-balik ke daerah asalnya hanya untuk mengurus surat rujukan. Dari aspek kesehatan juga ekonomi ini memberatkan sementara pengurusan surat rujukan tidak bisa diwakilkan.
"Kalau bisa rujukan satu tahun. Selain itu, rujukan juga harus memerhatikan ada tidaknya dokter onkologi dan fasilitas rumah sakitnya menunjang atau tidak," katanya.
Menurut Aryanthi, yang tak kalah pentingya adalah deteksi dini. Porsi ini dalam JKN-KIS belum mendapat perhatian serius. padahal, deteksi dini maka penyakit bisa diobati lebih awal sehingga hasilnya bisa lebih baik dibandingkan jika kondisinya sudah lanjut. Dari sisi pembiayaan, bebannya pun tidak sebesar jika penyakitnya sudah parah.
Saat ini, sudah ada deteksi dini kanker serviks dengan tes Inspeksi Visual Asetat (IVA) dan kanker payudara dengan mammografi. Tapi dengan jumlah peserta yang banyak cakupannya masih rendah sehingga perlu ada percepatan.
"Mamografi tidak ditanggung padahal dengan deteksi dini biaya pengobatan yang dikeluarkan akan lebih rendah," ujar Aryanthi.
Pasien kanker juga berharap obat-obat yang dipakai dalam program JKN-KIS berkualitas. Tidak cuma mengedepankan harga yang murah tapi kulitasnya juga perlu dijamin.
"Jangan ada lagi kasus seperti trastuzumab yang membatasi hak pasien. Kita tidak perlu lagi ke pengadilan untuk memperjuangkan hak kita," kata Aryanthi.
Aryanthi berharap, dalam setiap pengambilan keputusan BPJS Kesehatan melibatkan semua pihak terkait termasuk organisasi pasien.
Benahi sistem
Ada banyak masyarakat terbantu dengan JKN-KIS. Namun, ada juga yang masih enggan menggunakan karena layanannya yang dinilai rumit. Chairul anwar (67), contohnya. Sejak menjadi peserta tahun 2014 warga Jakarta Selatan itu baru menggunakan JKN-KIS untuk berobat sekali.
"Sebenarnya program ini (JKN-KIS) baik dan bermanfaat. Tapi ada sistem dan pelaksanaan yang harus dibenahi," ujarnya.
JKN-KIS mempertemukan mereka yang membutuhkan pengobatan tapi kurang mampu secara ekonomi dengan mereka yang sehat tapi memiliki kemampuan ekonomi. Subsidi silang inilah menjadi semangat asuransi sosial.
Rasapta Candrika, asisten produksi Teater Koma, misalnya. Ia telah menjadi peserta BPJS Kesehatan kelas I sejak tahun 2016. Sejak saat itu ia belum pernah menggunakan layanan kesehatan karena belum pernah jatuh sakit yang membuatnya harus berobat dan menggunakan JKN-KIS. Meski demikian, ia akan tetap membayar iuran.
"Kita, kan, tidak tahu kapan akan sakit. Kalaupun saya tidak pernah menggunakannya anggap saja yang saya bayar tiap bulan itu sebagai biaya sehat," katanya. (DEONISIA ARLINTA/SEKAR GANDHAWANGI/INSAN ALFAJRI)