Komisi Pemberantasan Korupsi menciduk Kepala Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin di Kota Bandung, Jawa Barat, Juli silam, karena menerima suap untuk pemberian fasilitas mewah bagi segelintir narapidananya. Namun, di era kolonial Hindia Belanda, fasilitas mewah bagi tahanan kelas atas adalah praktik resmi. Salah satu tahanan yang menerimanya bernama Pangeran Diponegoro.
Penulis mendatangi jejak kamar Diponegoro Jumat (9/11/2018) siang di lantai dua Museum Sejarah Jakarta, kawasan Kota Tua, Jakarta Barat. Dari jendela di sayap kiri bangunan, terlihat gedung-gedung klasik yang serasi dengan museum, di antaranya Cafe Batavia, Gedoeng Jasindo, dan Museum Wayang. Dari jendela yang sama, Pangeran Diponegoro mengintip pemandangan lapangan Balai Kota Batavia, 188 tahun lalu.
Jendela ini adalah bagian dari ruang kurungan Sang Pangeran usai ditangkap Belanda. Kala itu, ruang tersebut bagian dari gedung Balai Kota (Stadhuis) pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
Tidak seperti tahanan kolonial biasa yang dibui dalam penjara bawah tanah pengap nan gelap di Balai Kota. Pangeran Diponegoro mendapat perlakuan istimewa dengan menempati kamar di lantai dua sayap barat gedung, tepat di atas ruang-ruang penjara bawah tanah itu, yang merupakan kamar pribadi kepala penjara.
“Jika ada tahanan negara dari papan atas, baik orang Eropa maupun pribumi, untuk sementara waktu kepala bui mengosongkan apartemennya dan pergi ke semacam asrama di belakang,” tutur sejarawan asal Inggris dan “penggila” riwayat Pangeran Diponegoro, Peter Carey, Jumat.
Peter menduga, ningrat lainnya yang merupakan ayah Raden Mas Said, Pangeran Arya Mangkunegara, juga ditahan di ruang yang sama sekitar tahun 1730, sebelum dibuang ke Srilanka. Sebagai informasi, peletakan batu pertama pembangunan Stadhuis dilakukan pada 25 Januari 1707 oleh Petronella Wilhelmina van Hoorn (8) putri Gubernur Jenderal Hindia Belanda kala itu, Joan van Hoorn.
Pangeran Diponegoro kalah dari Belanda, tetapi pertempuran yang dipimpinnya menjadi inspirasi bagi generasi mendatang untuk merdeka dari penjajahan. Selama tahun 1825-1830, ia sukses mengobrak-abrik keuangan negara Belanda dengan mengobarkan Perang Jawa.
Peter dalam bukunya yang berjudul Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855) (2014), menulis, sebuah pemerintahan kolonial Eropa untuk pertama kalinya menghadapi pemberontakan sosial yang melanda sebagian besar Pulau Jawa lewat perang itu, meliputi hampir seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta banyak daerah lain di sepanjang pesisir utara. Kemenangan Belanda berbiaya mahal: 7.000 serdadu pribumi dan 8.000 tentaranya sendiri tewas, serta uang sekitar 25 juta gulden—setara 2,2 miliar dollar AS atau Rp 32,3 triliun—digelontorkan untuk biaya perang.
Perlawanan Pangeran berawal dari pembakaran kediamannya di Tegalrejo, Yogyakarta, oleh pasukan Belanda pada 20 Juli 1825, dan diakhiri dengan penangkapan dia di Magelang, 28 Maret 1830, dengan “bungkus” perundingan perdamaian. Untuk mendapat kepastian soal hukuman selanjutnya, ia dibawa ke Batavia. Berangkat tanggal 5 April 1830 dari pelabuhan di Semarang menumpang kapal uap SS Van der Capellen, Pangeran tiba di Batavia, tepatnya Pasar Ikan, 8 April. Dari sana, ia menuju Balai Kota Batavia.
Dalam bukunya, Peter menceritakan, Pangeran Diponegoro ditempatkan di dua ruang berlangit-langit rendah di lantai atas yang difungsikan sebagai tempat tinggal sipir penjara. Tempat itu biasa dijadikan tempat menahan orang Eropa atau tokoh penting pribumi.
Rancangan ruang itu terkesan sederhana. Jendela, misalnya, hanya berupa persegi panjang dengan kaca-kaca kotak yang diselingi bingkai kayu. Pun tidak ada aksesori untuk mempercantik desain ruangan.
Menurut Dosen Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia M Nanda Widyarta, rancangan gedung Stadhuis yang sederhana mencerminkan orang Belanda yang memang berpikiran praktis. Kemungkinan lainnya, karena dibangun di daerah koloni dengan sumber daya terbatas, gedung pun berdiri secara seadanya, meski berfungsi sebagai pusat pemerintahan. “Bangunan di beberapa jajahan Inggris pun seperti itu, termasuk di Karibia,” katanya.
Secara keseluruhan, lanjut Nanda, langgam arsitektur bangunan Balai Kota Batavia merupakan perpaduan neoklasik dengan gaya yang berkembang sebelumnya, yaitu gaya Baroque.
Pangeran Diponegoro dan pengikutnya naik ke kapal korvet Angkatan Laut Belanda, Pollux, pada 3 Mei 1830 untuk menuju tempat pengasingan yang ditetapkan Gubernur Jenderal Van den Bosch, yakni Manado, Sulawesi Utara. Tahun 1833, ia dipindahkan ke Makassar, Sulawesi Selatan, dan wafat di sana tanggal 8 Januari 1855.
Meski hanya kurang dari sebulan berada di Batavia, keberadaan Pangeran Diponegoro di Stadhuis tetap memberi warna bagi perjalanan hidupnya. Di sana, ia tercatat menulis surat untuk ibunya, Raden Ayu Mangkorowati, serta putra sulungnya, Pangeran Diponegoro II.
Selain itu, orang yang bertugas mengawasi Pangeran Diponegoro, seorang hakim kepala (hoofdbaljuw) dan juru gambar bernama Adrianus Johannes Bik, membuat sketsa arang untuk mengabadikan potret Pangeran. Bik menggambarkan tulang pipi Pangeran menonjol dan pipinya agak cekung, sebagai akibat serangan malaria yang mendera sejak pelariannya di hutan-hutan Bagelen pada akhir Perang Jawa.
Di Stadhuis, tercatat 19 orang mengikuti Diponegoro, tiga di antaranya adalah istrinya yang bernama Raden Ayu Retnoningsih, dan adik perempuannya Raden Ayu Dipowiyono beserta suami. Ketiga orang ini tinggal satu kamar dengan dia, bahkan menurut Peter, tidur di satu ranjang yang sama.
Adapun di antara 16 pengikut lainnya ada seorang koki bernama Onggomerto. “Onggomerto adalah eyang buyut Sukarni atau Bung Karni,” jelas Peter. Sukarni merupakan salah satu tokoh pemuda yang ikut “menawan” Soekarno dan Mohammad Hatta di Rengasdengklok.
Peter ingin warga Jakarta dan sekitarnya merasakan kehadiran fisik Pangeran Diponegoro itu. Ia pun menginisiasi ruang ekshibisi Kamar Diponegoro yang memamerkan koleksi-koleksi terkait Sang Pangeran, langsung di ruang yang pernah digunakan untuk menahannya. Kamar Diponegoro dibuka mulai Senin (12/11/2018) sore ini.
Sisi pribadi Pangeran akan juga ditampilkan di sini, di antaranya dengan memasukkan kandang burung perkutut dan sirih. “Pangeran Diponegoro semacam kecanduan mengunyah sirih,” ujar Peter.
Mari bertemu Pangeran dan sisi manusianya di Museum Sejarah Jakarta.