JAKARTA, KOMPAS—Meski jarang terjadi, gejala diabetes insipidus perlu dikenali masyarakat. Hal itu bertujuan untuk menghindari kesalahan pengobatan bagi penderita penyakit tersebut.
Dokter spesialis penyakit dalam Benny Santosa dari Rumah Sakit Gading Pluit mengatakan hal itu dalam seminar ilmiah bertema "Manajemen Gangguan Endokrin dan Tumor", Sabtu (10/11/2018), di Jakarta.
Diabetes insipidus ditandai sulit mengontrol pengeluaran urine disertai rasa haus terus-menerus. Urine yang dikeluarkan tiap hari mencapai 12 liter. “Gejala khasnya kencing terus, tak mengenal waktu. Kalau dibiarkan bisa bahaya karena pasien akan terkena dehidrasi, syok, bahkan koma,” kata Benny.
Meski gejalanya sama dengan diabetes melitus (DM), dua penyakit itu tak saling berhubungan. Penyakit DM disebabkan kadar glukosa dalam darah melewati batas normal.
Sementara diabetes insipidus terjadi karena gangguan hormon anti diuertik (ADH). Hormon yang dihasilkan kelenjar kecil dalam otak atau hipotalmus itu berfungsi mengurangi jumlah cairan yang terbuang melalui ginjal dalam bentuk urine.
Penyakit itu terjadi apabila pasien pernah mengalami trauma kecelakaan, operasi tumor, penyempitan pembuluh darah, leukemia, radiasi, dan mengonsumsi obat-obat tertentu berlebihan. Penyakit tersebut juga dipengaruhi faktor genetika.
“Kasusnya di Indonesia belum banyak. Namun tenaga kesehatan dan masyarakat perlu tahu gejalanya agar tidak langsung menganggap hal itu ialah diabetes melitus atau gangguan prostat. Itu bisa jadi merupakan gejala diabetes insipidus,” ujarnya.
Kasusnya di Indonesia belum banyak. Namun tenaga kesehatan dan masyarakat perlu tahu gejalanya agar tidak langsung menganggap hal itu ialah diabetes melitus atau gangguan prostat.
Pengobatan diabetes insipidus dilakukan dengan mengoreksi defisit air dan mengurangi kehilangan air berlebihan lewat urine. Menurut Benny, bagi pasien diabetes insipidus kronis ataupun akut, terapi dilakukan dengan memberi hormon buatan. Hormon yang berfungsi menggantikan peran ADH itu dipakai penderita secara permanen dengan disuntik atau dihirup.
Cegah obesitas
Sementara dokter spesialis bedah dari Rumah Sakit Gading Pluit Peter Ian limas, mengatakan, salah satu faktor risiko diabetes adalah kegemukan atau obesitas. Obesitas ditandai dengan penambahan berat badan lebih dari 68 kilogram.
Sejauh ini, tren proporsi obesitas pada orang dewasa terus meningkat yakni 10,5 persen (Risset Kesehatan Dasar 2007), 14,8 persen (Riskesdas 2013) dan 21,8 persen (Riskesdas 2018). Tingginya obesitas di Indonesia dipengaruhi kebiasaan masyarakat Indonesia yang memprioritaskan asupan karbohidrat dan lemak dibandingkan vitamin dan mineral.
Untuk mencegah obesitas, pola hidup perlu diubah seperti menghindari makanan berlemak dan rutin berolah raga. Bagi penyandang obesitas dengan berat badan lebih dari 80 kilogram, salah satu terapi paling efektif adalah terapi bariatrik atau operasi pengecilan lambung.
“Terapi ini dengan cara kita mengubah ususnya, supaya saat makan sedikit saja sudah keyang. Atau makan tetapi penyerapannya sedikit,” katanya. Orang dengan obesitas berusia 25-34 tahun, angka kematiaannya 12 kali lebih tinggi dari penderita obesitas berusia 35-44 tahun yaitu 6 kali.
Oleh karena itu, bedah bariatrik bertujuan memperpanjang hidup dan menyelesaikan penyakit tambahan yang berhubungan dengan obesitas seperti hipertensi dan kardiovaskular. Penyandang obesitas dengan bobot melebihi 100kg dalam satu tahun, berat badannya akan kembali normal, yaitu 40-50 kilogram. “Ini bukan untuk melangsingkan badan,” ujarnya. (STEFANUS ATO)