Media Sosial Tetap Jadi Andalan Promosi Wisata
JAKARTA, KOMPAS — Program digitalisasi pariwisata kini menjadi haluan dalam upaya mempromosikan destinasi wisata di Indonesia. Hal ini menjadi lazim mengingat kini perkembangan wisata banyak dipengaruhi media sosial.
Menteri Pariwisata Arief Yahya belum lama ini menegaskan pentingnya peran media sosial dan program digitalisasi dalam pertemuan Momen World Travel Market (WTM) London 2018 di depan petinggi United Nation World Tourism Organization (UNWTO).
Program digitalisasi dinilai Arief sangat efektif mendongkrak promosi pariwisata. ”Indonesia sudah banyak melakukan perubahan dalam pola bermedia. Hampir 70 persen wisatawan melakukan pencarian dan berbagi informasi melalui digital,” ujar Arief melalui akun Instagram @menpar.ariefyahya, Sabtu (10/11/2018).
Berkembangnya digitalisasi juga mempengaruhi destinasi wisata. Suatu destinasi bisa tiba-tiba banyak didatangi setelah viral di media sosial. Generasi melek digital yang berperan dalam menciptakan destinasi baru pun menjadi pasar bagi pariwisata di Indonesia yang mendominasi.
”Wisatawan Nusantara saat ini didominasi generasi milenial dan keluarga,” kata Tenaga Ahli Menteri Pariwisata dan Ketua Pokja Bidang Percepatan Pembangunan 10 Destinasi Pariwisata Prioritas Kementerian Pariwisata (Kemenpar) Hiramsyah S Thaib, Senin (12/11).
Adapun tren destinasi wisata yang diminati pasar saat ini adalah destinasi yang mempunyai keunikan budaya dan alam. Termasuk juga destinasi yang menawarkan wisata kuliner dan belanja. ”Wisatawan sekarang lebih mencari pengalaman unik atau khas untuk setiap destinasi. Tentunya juga harus Instagramable,” ujar Hiramsyah.
Contoh destinasi yang tren di dunia maya saat ini adalah The Highland Park Resort di Bogor, tempat kemah mewah tersebut unik karena berciri khas tenda kemah suku Indian (Apache) dan menawarkan aktivitas ruangan untuk keluarga.
Tak kalah viralnya, ada juga Jalan Gatot Subroto di Solo, Jawa Tengah, yang terkenal karena mural warna-warni yang menghiasi tembok bangunan rumah toko di sekitarnya sejak 2017.
Daerah yang disebut Koridor Gatsu ini mendatangkan banyak wisatawan karena menarik untuk tempat berfoto. Potensi tersebut pun didukung oleh pemerintah daerah setempat (Kompas, 27/10/2018).
Pemerintah pusat, melalui Kemenpar, pun saat ini tengah mengejar pengembangan destinasi digital, yaitu sebuah produk pariwisata kreatif yang dikemas secara kekinian, seperti contoh di atas. Targetnya, akan ada 100 destinasi digital pada akhir tahun 2018.
Upaya ini terus dibangun untuk mencapai target pergerakan 265 juta wisatawan Nusantara (wisnus) pada 2018 dan 275 juta wisatawan Nusantara di dalam negeri pada 2019. Berdasarkan data Kemenpar, sejak 2017 pergerakan wisatawan Nusantara telah menembus angka 200 juta dari proyeksi yang hanya sebesar 180 juta wisatawan.
Wisata embara
Untuk mendatangkan 17 juta kunjungan wisman pada 2018, pemerintah menggunakan strategi promosi wisata yang disebut nomadic tourism atau wisata embara. Tren wisata ini mengikuti gaya hidup berpindah wisatawan mancanegara.
Konsep wisata embara dinilai mudah direalisasikan dengan membangun amenitas atau akomodasi yang sifatnya dapat berpindah-pindah. ”Contoh konsep wisata embara ini seperti kemah mewah atau glamping, caravan yaitu mobil yang bisa dijadikan hotel, dan homepod yaitu semacam rumah kayu yang dapat dipindah,” tutur Hiramsyah.
Konsep pembangunan wisata embara tersebut dinilai bisa menjadi jalan cepat atau solusi untuk mengatasi keterbatasan unsur atraksi, amenitas, dan aksesibilitas. Konsep wisata embara tersebut juga akan lebih banyak diterapkan pada 10 destinasi pariwisata prioritas atau yang disebut destinasi Bali Baru.
Kesepuluh destinasi pariwisata prioritas tersebut adalah Danau Toba (Sumatera Utara), Tanjung Kelayang (Kepulauan Bangka Belitung), Tanjung Lesung (Banten), Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), dan Candi Borobudur (Jawa Tengah). Kemudian, Bromo-Tengger-Semeru (Jawa Timur), Mandalika (Nusa Tenggara Barat), Labuan Bajo (Nusa Tenggara Timur), Wakatobi (Sulawesi Tenggara), dan Morotai (Maluku Utara).
Dari sepuluh destinasi tersebut, ada empat destinasi yang disebut superprioritas, yaitu Danau Toba, Candi Borobudur, Mandalika, dan Komodo Labuan Bajo. Dua di antaranya sudah memiliki Badan Otorita, yakni Badan Otorita Danau Toba (BODT) dan Badan Otorita Borobudur (BOB), untuk memastikan kawasan itu memiliki manajemen tunggal.
Partisipasi dibutuhkan
Hingga saat ini, pembangunan sepuluh destinasi pariwisata prioritas masih terus dikejar. Namun, partisipasi aktif masyarakat sangat diharapkan, menurut Hiramsyah, terutama untuk menjaga keberlanjutan pembangunan pariwisata.
”Konsepnya harus ecotourism dengan memberdayakan pentahelix atau disingkat ABGCM. Mereka adalah kalangan akademisi, bisnis, goverment atau pemerintah pusat dan daerah, community, dan media,” paparnya.
Adapun kunci untuk membangun destinasi wisata yang berkelanjutan dan menarik bagi wisatawan salah satunya dengan memperkuat atraksi wisata. ”Kita akan perkuat wisata budaya dan wisata alam. Juga termasuk wisata olahraga, seperti lari maraton, lari lintas alam, diving, tur sepeda, dan lain sebagainya,” tuturnya.
Kunci untuk membangun destinasi wisata yang berkelanjutan dan menarik bagi wisatawan salah satunya dengan memperkuat atraksi wisata.
Pembenahan dan pembangunan juga terus dilakukan untuk aspek amenitas, di antaranya adalah dengan target membangun 100.000 homestay di 2.000 desa wisata di seluruh Indonesia pada 2019. Adapun untuk aksesibilitas, seperti bandara dan tol, pembangunan yang ada juga diharapkan berkontribusi bagi pariwisata.
Beberapa infrastruktur penunjang aksesibilitas yang terus dikembangkan antara lain Bandara Silangit di Tapanuli Utara. Bandara tersebut direaktivasi pada 2017 untuk meningkatkan kunjungan wisatawan Nusantara dan wisatawan mancanegara ke Danau Toba.
Demikian juga dengan pembangunan bandara di Bangka Belitung dan penyelesaian Tol Serang-Panimbang yang diharapkan akan membuat lonjakan kunjungan wisatawan Nusantara dan wisatawan mancanegara ke Tanjung Lesung. (ERIKA KURNIA)