Memahat Batu, Menatah Hidup
Bagi warga tepian Sungai Pabelan, Gunung Merapi merupakan sumber kehidupan mereka. Batu-batu alam muntahan erupsi dipahat jadi karya seni nan indah. Hal itu terus bertahan di tengah perubahan.
”Tak! Tak! Tak...!” Bunyi palu beradu dengan tatah, menyeruak timbul tenggelam di antara lalu lalang kendaraan bermotor di Jalan Raya Magelang-Yogyakarta, tepatnya di sekitar Muntilan dan Prumpung, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Mata tatah diayun tangan-tangan berotot menggerus kerasnya batu.
Di bawah naungan atap seng, Zainal Abidin (71), perajin batu nisan di Dusun Tangkilan, Pabelan, Mungkid, Magelang, duduk di atas dingklik menghadap batu gunung yang panjangnya 160 sentimeter, lebar 55 sentimeter, dan tinggi 50 sentimeter. Tangannya yang keriput tapi tetap berotot luwes menggerakkan juplik atau tatah.
”Sekarang orang meninggal tidak mesti pakai kijing lagi di kuburannya. Paling pakai semen dan keramik. Padahal, kijing lebih awet dan kendalanya hanya lumutan saja,” tutur Zainal.
Dalam usianya yang terbilang lanjut, Zainal perlu waktu hingga sebulan membuat sebuah batu nisan. Berbeda saat dirinya masih muda dan bertenaga prima.
Kijing atau nisan berukiran motif bunga dan daun menjalar dapat diselesaikan 10 hari. Dengan harga bahan baku Rp 1,6 juta dan dijual seharga Rp 2,5 juta per nisan, dia bisa mendapat pemasukan Rp 900.000 per bulan.
”Pemasukan tidak mesti. Bisa selama 3 bulan tak dapat uang,” ujar kakek tiga cucu ini.
Untuk dapat bertahan, terkadang Zainal harus mengutang di warung guna mencukupi kebutuhan harian. Bahkan, dia juga memelihara ayam kampung.
Selain sepi peminat, perajin batu menghadapi tantangan kesulitan bahan baku.
Demi kelestarian lingkungan, batu kali Gunung Merapi kini hanya boleh ditambang dengan cara digali secara manual, tidak dengan mesin atau alat berat. ”Mana ada batu yang beranak. Semakin digali kian sulit dapat batu,” ucapnya.
Hal itu membuat harga bahan baku batu melonjak lebih dari Rp 1 juta dalam tiga tahun terakhir. Meski begitu, Zainal tetap tekun menjalani pekerjaannya. Apalagi, memahat merupakan keterampilan warisan dari ayah dan kakeknya.
”Ibaratnya mau jadi sopir, harus jadi kernet dulu. Saya bisa memahat karena dulu sering melihat dan bantu-bantu simbah dan bapak,” katanya.
Sambil menyemangati diri, Zainal yakin kesehatan dan kedua bahu serta tangannya merupakan sarana bekerja paling berharga.
”Dua bahu ini sawah saya,” ujarnya menyitir istilah bahu yang dipakai warga setempat menunjukkan luasan areal garapan sawah seluas 0,7 hektar.
Selain Zainal, di Pabelan atau juga dikenal dengan Prumpung, ada pula Budi Santoso (48) yang sejak 10 tahun lalu menjadi perajin batu setelah beberapa kali merantau ke Jakarta.
”Saya belajar otodidak. Karena lahir dan besar di Muntilan, jadi sering lihat orang-orang memahat batu,” kata Budi yang membuat patung Buddha setinggi 1 meter.
Sebagai pekerja, Budi mendapat upah Rp 650.000 dengan sistem borongan. Untuk memulai pembuatan patung, butuh sketsa patung lengkap dengan ukuran berbagai sisi.
Kemudian, bongkahan batu dibentuk sesuai anatomi tubuh dan selanjutnya pengerjaan detail serta memperhalus permukaan. Butuh waktu sekitar 2 minggu baginya merampungkan pekerjaan itu.
Anto Purnomo (40), perajin batu di Desa Nglawisan, Taman Angin, Muntilan, juga sedang menggarap dua patung Buddha dari batu andesit setinggi 2 meter.
Anto, pemilik Antok Art Stone, yang mulai memahat sejak usia 14 tahun, mengaku mendapat dana untuk membeli bahan baku batu sebanyak Rp 15 juta dari pemesan di Jakarta. Adapun hasil karya seninya dihargai Rp 20 juta per patung.
Kemampuan memahat didapat dari ayah. Tak hanya teknik, tetapi juga mental. Ayahnya pernah memberikan nasihat, kerasnya batu perlu dihadapi dengan keyakinan yang lebih keras dan kuat. ”Harus yakin dapat mengatasinya dan jangan mudah putus asa,” kenang Anto.
Meski demikian, Anto, lulusan STM, mengatakan tak bisa lagi mengandalkan hidup dari pesanan patung yang datangnya tak tentu. Dalam setahun, kadang pesanan datang hingga tiga kali, tapi pernah sepi. Untuk itu, dia mulai membudidayakan cabai dan jagung pada lahan seluas 3.000 persegi miliknya.
Filosofi batu
Di Magelang ada sekitar 400 perajin batu. Mereka menghasilkan banyak karya seni dan peralatan rumah tangga, mulai dari cobek dan muntu, asbak, hiasan taman, patung, relief, kijing, hingga umpak atau fondasi tiang untuk rumah tradisional.
Harganya mulai dari Rp 25.000 hingga jutaan rupiah. Para perajin itu ada yang mandiri, ada pula yang ikut juragan besar. Karya seni dari sini sudah tersebar ke seluruh penjuru dunia.
Kasrin Endroprayono (77), salah satu perintis kerajinan pahat batu Prumpung, mengatakan, selain sumber kehidupan, memahat batu juga mengajarkan nilai-nilai universal, seperti keyakinan, ketekunan, dan keberanian.
Yakin menghadapi tantangan kerasnya batu, tekun menghasilkan karya unik dan indah, serta berani berinovasi dan mengambil risiko.
Kepala Dinas Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata Kabupaten Magelang Iwan Sutiarso menilai, seni pahat merupakan bagian ekonomi kreatif. Batu-batu yang dibentuk bernilai ekonomi bagi para pemahat dan lingkungan sekitarnya.
Meski demikian, Iwan mengatakan, saat ini belum ada ruang pamer khusus. Namun, berjajarnya para pelaku usaha seni pahat di sepanjang jalan di Muntilan justru menjadi etalase proses kreatif para perajin.
Bagi perajin batu, Gunung Merapi dan Candi Borobudur juga menjadi sumber hidup yang tak terpisahkan. Jika Merapi sumber batu, Borobudur adalah sumber inspirasi.
Borobudur mengalirkan ilham yang mengangkat seni pahat batu Muntilan menjadi pusat ekonomi kreatif unggulan di masa lalu, masa kini, dan semoga tetap berjaya di masa depan. (MEGANDIKA WICAKSONO/ ADITYA PUTRA PERDANA)