Pertarungan Gagasan di Pusat Kekuasaan
Surabaya adalah pusat penceritaan sejarah nasional pada 10 November 1945 dan kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan. Pada saat bersamaan, di Jakarta juga tengah terjadi pertarungan gagasan dalam menentukan masa depan Indonesia.
Surabaya adalah pusat penceritaan sejarah nasional pada 10 November 1945 dan kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan. Pada saat bersamaan, di Jakarta juga tengah terjadi pertarungan gagasan dalam menentukan masa depan Indonesia.
Tanggal 10 November 1945, sebuah pamflet berjudul “Perdjoeangan Kita” diterbitkan Departemen Penerangan. Pamflet ditulis Soetan Sjahrir.
Benedict R O’G Anderson (1972) dalam buku berjudul “Java In A Time Of Revolution: Occupation and Resistance 1944-1946,” menulis bahwa hal itu muncul tatkala berita mengenai Sjahrir yang diajak membentuk pemerintah yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), baru tersebar.
Anderson melanjutkan, pamflet itu sepertinya menjadi pertanda perubahan mendasar terkait komposisi dan kebijakan pemerintah Indonesia.
Pada pamflet tersebut, Sjahrir melancarkan kritik kepada pemerintah, pemuda, dan militer. Ia juga menganalisis situasi kontemporer setelah kemerdekaan, dan mengajukan gagasan demokrasi sebagai hal nomor satu dalam menyusun tata kelola masyarakat dibandingkan dengan nasionalisme.
Pamflet yang diketik ulang Bramantya Basuki dan dipublikasikan Penerbitan Anjing Galak pada 2010 itu di antaranya menyebutkan, tujuan menyusun kekuasaan Republik Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan, tidak tercapai seperti yang seharusnya.
Sjahrir, dalam pamflet 34 halaman tersebut, di antaranya menuliskan dua sebab terkait hal itu. Pertama, yang mengendalikan pemerintahan RI bukan orang yang berjiwa kuat. Kebanyakan dari mereka terlalu biasa membungkuk serta berlari untuk Jepang atau Belanda sehingga jiwanya bimbang dan nyata tidak sanggup bertindak dan bertanggung jawab. Kedua, tulis Sjahrir, adalah banyak di antara mereka merasa berhutang budi kepada Jepang.
Pada pamflet itu, Sjahrir juga menulis sangat tipisnya kesadaran revolusioner yang harusnya berdasar pada pengetahuan kemasyarakatan. Ini misalnya mewujud dengan segala kegelisahan dalam masyarakat, dijuruskan oleh para pemuda dengan kebencian terhadap bangsa asing. Pembunuhan, perampokan, dan lain-lain saat itu terjadi dan disebut sebagai hal reaksioner atau tak berarti dalam kacamata perjuangan kemasyarakatan.
Pengaruh langsung “Perdjoeangan Kita” di lingkar politik Jakarta cenderung tidak meluas, seperti ditulis Anderson, menyusul banyaknya kaum nasionalis tua yang tersinggung dan kritiknya pada kaum muda dan tentara melukai kepekaan karena di saat bersamaan tengah terjadi pertempuran besar di Surabaya.
Meskipun begitu, pamflet itu memiliki pengaruh lain. Anderson menyebutkan, itu merupakan satu-satunya upaya menganalisis secara sistematis kekuatan domestik dan internasional yang memengaruhi Indonesia serta menyajikan sudut pandang yang masuk akal bagi masa depan pergerakan kemerdekaan.
Sang perdana menteri
Tanggal 14 November 1945, Sjahrir resmi menjadi Perdana Menteri Indonesia. Sejarawan Rushdy Hoesein, Jumat, mengatakan, pada masa awal, Sjahrir berkantor di rumah di Jalan Pegangsaan Timur (sekarang Jalan Proklamasi) Nomor 56, Jakarta.
Teras depan rumah ini menjadi tempat Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. Lokasi itu kini menjadi “Tugu Petir,” atau “Tugu Proklamasi,” yang pencangkulan tanah untuk pembangunannya dilakukan Presiden Sukarno pada 1 Januari 1961.
Selama masa kekuasaannya, Sjahrir memimpin tiga kabinet. Kabinet Sjahrir pertama berlangsung 14 November 1945-12 Maret 1946. Kabinet Sjahrir kedua sejak 13 Maret 1946-2 Oktober 1946. Kabinet Sjahrir ketiga dimulai 2 Oktober 1946-27 Juni 1947).
Kemunculan Sjahrir
Untuk memahami hal tersebut, kita mesti kembali ke tanggal 16-17 Oktober 1945 tatkala sidang KNIP pertama digelar di Balai Muslimin Indonesia, Kramat Raya, Jakarta. Rushdy menjelaskan, pada saat itu kaum muda menuntut agar Sjahrir dihadirkan sebagai pemimpin sidang.
“Kisruh, suasana panas,” kata Rushdy yang menulis buku berjudul “Terobosan Sukarno Dalam Perundingan Linggarjati” (2010).
Menurut Rushdy, pemimpin sidang sebelumnya seperti Kasman Singodimedjo, Adam Malik, dan Latuharhary yang bergantian memimpin sidang akhirnya tak kuasa menghadapi tuntutan pemuda. Salah seorang di antaranya adalah Soekarni, yang mengusulkan agar perjuangan jadi lebih revolusioner.
“Soekarni bikin pernyataan, didukung 50 orang dan muncullah (Sjahrir),” sebut Rushdy. Inilah awal mula kehadiran Soetan Sjahrir dalam kancah perpolitikan nasional setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Sjahrir lantas ditunjuk sebagai formatur Badan Pekerja (BP) KNIP. Ia bekerja cepat. Sebanyak 15 anggota BP KNIP diangkat. Sjahrir sebagai ketua dan Amir Sjarifuddin menjadi wakil.
Rushdy, dalam bukunya, menulis, salah satu hasil kerja BP KNIP pada1 November 1945 adalah Manifesto Politik Pemerintah. Selain itu, dikeluarkan juga Maklumat Pemerintah pada 3 November 1945, yang juga merupakan hasil kerja BP KNIP.
Dalam buku berjudul “Demi Bangsaku: Pertentangan Bung Karno vs Bung Hatta yang ditulis Wawan Tunggul Adam (2003), dua maklumat tersebut hanya ditandatangani Bung Hatta. Dalam Manifesto Politik Pemerintah, isinya tentang menghormati hak milik orang asing yang berasal dari zaman Hindia Belanda. Ini disebut bertentangan dengan pemikiran Bung Karno ihwal revolusi yang digunakan untuk mengakhiri kapitalisme, termasuk menasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda.
Sedangkan Maklumat Pemerintah 3 November 1945 berisikan anjuran pembentukan partai-partai politik. Di dalamnya berisikan dua hal yakni, pemerintah menyukai timbulnya partai-partai poltik agar dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran dalam masyarakat.
Kedua, pemerintah berharap supaya partai-partai politik telah tersusun sebelum pemilihan anggota Badan Perwakilan Rakyat pada Januari 1946. Pada sisi lain, seperti dikutip dari buku Wawan Tunggul Adam, Bung Karno sangat tidak menyetujui sistem multipartai.
Implikasi dari Maklumat Pemerintah pada 3 November 1945 itu adalah munculnya partai-partai dengan segera. Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wawan Ichwanuddin menyebutkan, pendirian partai-partai yang jumlahnya banyak dan tentu saja sebagian besar dideklarasikan pertama kali di Jakarta, merupakan respon terhadap maklumat tersebut.
“Maklumat ini (sebagai) respon atas usulan Presiden Sukarno tentang partai tunggal (PNI) yang dikhawatirkan membawa Indonesia ke sistem nondemokrasi,” sebut Wawan.
Sejumlah partai politik didirikan sepanjang November itu. Sebagian di antaranya adalah Masyumi (7 November 1945), Partai Buruh Indonesia (8 November 1945), Partai Rakyat Jelata (8 November 1945), Parkindo (10 November 1945), Partai Sosialis Indonesia (10 November 1945), Partai Rakyat Sosialis (20 November 1945).
Bentuk kabinet presidensial lantas diubah menjadi kabinet parlementer pada 14 November 1945, tatkala Sjahrir menjabat perdana menteri. Ini diumumkan lewat Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 yang berbunyi, “Pemerintah Republik Indonesia setelah mengalami ujian-ujian yang hebat dengan selamat, dalam tingkatan pertama dari usahanya menegakkan diri, merasa bahwa sekarang sudah tepat untuk menjalankan macam-macam tindakan darurat guna menyempurnakan tata usaha negara kepada susunan demokrasi. Yang terpenting dalam perubahan susunan kabinet baru itu ialah tanggung jawab adalah di dalam tangan menteri.” (Prof. M. Habib Mustopo dkk, 2006).
Wawan juga menambahkan, pembentukan partai-partai pada bulan November 1945 tidak terjadi dalam keadaan damai. Di Jakarta, kata Wawan, ada banyak kasus bentrokan pemuda dan BKR dengan tentara sekutu.
Audrey Kahin dalam buku berjudul Regional Dynamics of the Indonesian Revolution; Unity from Diversity (1985) menulis bahwa sekalipun kelompok-kelompok perlawanan terlibat dalam pertempuran jalanan dengan Belanda, mereka cenderung tidak menunjukkan resistensi kepada pasukan Inggris yang baru mendarat. Beberapa hari kemudian, setelah informasi adanya tentara Belanda yang juga mendarat dan menyamar dengan tentara Inggris, bentrokan dengan Inggris terjadi juga di Jakarta.
Richard McMillan dalam buku berjudul The British Occupation of Indonesia 1945-1946 (2005) menulis bahwa kedatangan pasukan Inggris di Indonesia diawali dengan kehadiran tim pertama di Batavia (Jakarta) pada 8 September. Lalu 15 September, RAPWI (Repatriation of Allied Prisoners of War and Internees) Nomor 6 tiba di Pelabuhan Tanjung Priok. Kedatangan mereka disebut tidak menarik perhatian penduduk lokal. Mereka hanya disambut anak-anak kecil.
Kahin juga menyebutkan bahwa bentrokan di Jakarta pada masa itu tidak pernah mencapai intensitas serupa pertempuran di Surabaya. Salah satu slogan yang digunakan pada masa itu untuk memberikan panggilan pada para pemuda adalah “Bersiap!”
Menurut Kahin, hal itu merupakan istilah umum dalam buan-bulan penuh kekerasan di akhir 1945, yang dipergunakan untuk memanggil para pemuda dalam menghadapi pertempuran dengan nuansa permusuhan yang kuat.
Kekerasan dalam periode ini disebutkan berupa penculikan dan pembunuhan oleh kedua pihak dan memberikan reputasi mengerikan pada periode akhir 1945 serta karakter konflik di Jakarta yang bernuansa rasial.
Masih menurut Kahin, pada 19 November, Sjahrir memerintahkan para pemuda dan TKR untuk meninggalkan kota. Hal ini dilakukan untuk menghindari terulangnya pertempuran di Surabaya yang menimbulkan banyak korban jiwa. Terkait itu, kata Kahin, Sjahrir juga sudah menduga bahwa tak semua kelompok perlawanan mematuhi perintahnya.
Kurang Dukungan
Anderson menyebutkan, sejak awal kabinet Sjahrir, elemen-elemen oposisi yang kuat telah eksis. Setidaknya ada dua hal yang membuat kabinet itu rapuh. Pertama, kabinet itu tidak representatif karena didominasi pemimpin-pemimpin Partai Sosialis dan kaum profesional. Kedua, kabinet itu menunjukkan lebih menyukai cara diplomasi ketimbang perlawanan bersenjata.
Masih menurut Anderson, mengingat berkembangnya kelompok-kelompok oposisi dan kelemahan-kelemahan pemerintah maka yang dibutuhkan hanya kepribadian berikut program dengan fokus pada oposisi dan kemampuan mengendapkan krisis pemerintah. Orang yang kemudian maju mengisi peran itu, tulis Anderson, adalah sosok misterius nan legendaris bernama Tan Malaka.
Sejarah kemudian mencatat, perbedaan pandangan tajam terjadi antara Sjahrir dan Tan Malaka. Pada 2 Desember 1945, muncul pamflet berjudul “Moeslihat,” oleh Tan Malaka yang diterbitkan dari Surabaya. Tanggal 3 Januari 1946, Tan Malaka dalam kongres di Purwokerto, tampil di publik dengan program “100 persen Merdeka,” dan pengusiran seluruh pasukan asing dari pantai Indonesia. (Anderson, 1972). "Jadi, kalau Jadi kalau dihitung, (sebagai sebuah) comparative study, (antara) Surabaya dan Jakarta (di sekitar November 1945) sama ramainya,” ujar Rushdy.
Perbedaanya terletak pada intensitas bentrokan fisik dan pergulatan pemikiran.