Semesta sungguh tak pernah letih memberi inspirasi. Begitu pun keindahan alam dan budaya lembah Gunung Merapi dan Merbabu, Jawa Tengah, yang mengilhami beragam narasi seni termasuk sastra. Di Ketep Pass, perayaan kata-kata itu menggema.
"Aku belajar membaca tanda-tanda dari semesta yang semakin tua, pada tanah jejak manusia purba. Dari cakrawala luas dan ilmu tak terbatas. Pada pelangi untuk memahami toleransi, dan batu di kali, agar jiwa mengendap terus mencari jati diri."
Begitu Bambang Widiatmoko, penyair asal Yogyakarta, melantunkan puisi "Belajar Membaca" di puncak acara Ketep Summit Festival di Ketep Pass, Sawangan, Kabupaten Magelang, Sabtu (20/10/2018). Perhelatan itu merupakan ajang tahunan yang berupaya mengangkat potensi alam dan budaya sekitar lereng Gunung Merapi dan Merbabu, termasuk seni sastra.
Diselimuti hawa sejuk lereng pegunungan, sekitar 75 penyair dari berbagai daerah di Nusantara duduk membentuk lingkaran di atas pelataran Panca Arga, Ketep Pass. Mereka satu per satu maju membacakan puisi dengan lantang. Penuh penghayatan. Benang merah pesan yang disampaikan adalah ajakan menghormati bumi dan alam.
Penyair lain, Suyitno Ethex asal Mojokerto, Jawa Timur, membacakan "Lorong". "Memasuki sebuah lorong, hitam tak hitam. Semakin ke dalam, kelam tak kelam. Aneka warna terang, terungkap rahasia di dalam lorong. Batu bata tertata seimbang, simpan kisah perjalanan, yang penuh perjuangan."
Ethex membuka ruang interpretasi yang luas bagi siapa saja dalam menafsirkan puisi tersebut. Bahkan, dapat dikaitkan dengan bencana di daerah pegunungan. "Seperti bencana. Kadang kita, manusia hanya melihat kulitnya saja. Padahal, kita perlu mengenal lebih dalam, apa ada kesalahan yang kita lakukan selama ini. Kita harus berkaca," kata dia.
Para penyair membawakan puisi karya sendiri maupun karya orang lain. Seraya mereka berpuisi, aksi teatrikal juga tersaji. Salah satu penari memerankan sosok Nyai Gadung Melati, figur yang dipercaya sebagai penjaga Gunung Merapi. Dia menari bersama sosok-sosok petani perempuan.
Mereka menampilkan simbol empat elemen bumi, yakni tanah, air, angin, dan api. Keempatnya menyatu menjadi satu kesatuan dengan harapan memberi kesuburan yang menyejahterakan masyarakat sekitar Gunung Merapi. Demi mencapai itu, seluruhnya harus berjalan harmonis.
Para pengunjung, tua-muda, begitu antusias menikmati pertunjukan sastra hingga musikalisasi puisi ini. Mereka khidmat menyimak para penampil sembari nyemil jagung bakar dan wedang jahe hangat.
Sadar bencana
Para penyair tak sekadar membacakan puisi, mereka juga menginap berkemah menggunakan tenda di kawasan setinggi 1.200 meter di atas permukaan laut. Hal itu seturut konsep wawasan kebencanaan yang diusung. Satu yang menarik yakni sastra sunrise. Ya, para peserta kemah sastra diberi kesempatan mendaraskan puisi mereka seiring terbitnya matahari.
Ketep Summit Festival 2018 dihelat 19-21 Oktober 2018. Selain pentas sastra dan susastra sunrise, juga ada pentas kesenian, ritual erupsi Merapi, Bamboo Art Lightning, pentas musik, dan jambore kebencanaan.
Kepala Dinas Pariwisata, Kepemudaan, dan Olahraga Kabupaten Magelang, Iwan Sutiarso, menuturkan, penyelenggaraan malam hari guna mendongkrak lama kunjungan di Kabupaten Magelang, termasuk Ketep. "Kami harap pengunjung semakin tertarik menginap di homestay. Dengan demikian, kunjungan meningkat, ekonomi masyarakat terdampak," kata dia.
Pesan lain yang terselip dalam Ketep Summit Fest 2018 yakni kesadaran masyarakat pada risiko bencana. Melalui puisi dan jambore kebencanaan, pesan menjaga dan melestarikan alam diharapkan tersampaikan.
Lewat puisi yang menggema di antara embusan angin malam, pesan-pesan pelestarian alam disuarakan. Sastra yang lama dinikmati secara subyektif dan kontemplatif, kini jadi pemikat wisata.