Sejumlah Lokasi Diusulkan Dikosongkan
PALU, KOMPAS - Pemerintah mengusulkan sejumlah lokasi di Sulawesi Tengah ditetapkan sebagai zona merah karena rawan terjadi bencana akibat gempa, likuefaksi, dan tsunami.
Lokasi-lokasi yang masuk zona merah harus dikosongkan, tidak boleh dibangun atau untuk hunian. Hal ini akan diatur dengan peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah.
Beberapa lokasi yang telah diusulkan sebagai zona merah adalah Tolo, Talise, dan Petobo di Kota Palu; Pombebe di Kabupaten Sigi; serta Loli dan Pantai Barat di Kabupaten Donggala.
”Penetapan RTRW (rencana tata ruang wilayah), terutama yang menyangkut daerah rawan bencana (zona merah), didasarkan pada rekomendasi Badan Geologi. Selanjutnya pemerintah daerah bersama DPRD akan memprosesnya menjadi peraturan daerah,” kata Wakil Presiden Jusuf Kalla seusai memimpin rapat koordinasi di Kota Palu, Minggu (11/11/2018).
Rapat tersebut membahas tahap rekonstruksi dan rehabilitasi Kota Palu, Kabupaten Donggala, dan Kabupaten Sigi yang sebagian wilayahnya luluh lantak akibat gempa, tsunami, dan likuefaksi pada 28 September 2018.
Hadir dalam rapat itu antara lain Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang PS Brodjonegoro, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil, Gubernur Sulteng Longki Djanggola, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Willem Rampangilei, serta Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Dwikorita Karnawati.
Dalam rapat tersebut juga diputuskan, 14.000 keluarga pengungsi akan dipindahkan ke hunian sementara paling lambat akhir Desember. Setelah perda RTRW selesai, pemerintah akan membangun permukiman permanen untuk para pengungsi. Ditargetkan, Januari 2019 pengungsi sudah menempati permukiman permanen tersebut.
Sofyan mengatakan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang telah mengidentifikasi 1.000 hektar lahan hak guna bangunan yang selama ini telantar sebagai tujuan relokasi. Lokasi lahan tak terlalu jauh dari permukiman lama penduduk, tetapi dalam radius aman dari risiko tsunami sekaligus di luar area rawan gempa ataupun likuefaksi.
Longsoran bawah laut
Survei awal yang dilakukan para ahli pascagempa-tsunami Sulteng menemukan adanya bukti-bukti longsoran bawah laut di dalam Teluk Palu yang diduga kuat menjadi sumber dari tsunami lokal di Teluk Palu.
Longsoran ini terjadi di perbukitan yang menerus hingga di dalam laut, selain juga terjadi karena ambruknya daratan di bekas reklamasi ataupun di muara-muara sungai. Pantai yang curam dan kedalaman Teluk Palu menyebabkan tingginya kerentanan longsor ini.
”Titik longsor yang teramati di sisi timur maupun barat Teluk Palu, mulai dari wilayah Kota Palu hingga Kabupaten Donggala. Beberapa lokasi longsor tersebut adalah tiga lokasi di Wani, Labuan, Watusampu, Loli, dan Tasiburi,” kata Purna S Putra, peneliti geologi dan paleotsunami dari Pusat Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), di Palu, Minggu.
Selama sepekan terakhir, Purna melakukan survei dengan 10 peneliti dari Eropa. Survei juga diikuti tim BMKG, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Koordinator Maritim.
Beberapa saksi mata menyebutkan, arah datangnya tsunami berasal dari lokasi-lokasi longsor yang menerus ke bawah laut. Banyaknya sumber longsor ini yang menyebabkan arah datang tsunami dari sejumlah jurusan.
”Saat ini kami masih menghitung volume material yang longsor, apakah memang bisa memicu tsunami. Nanti akan dibuat pemodelannya,” kata Purna.
Longsoran bawah laut ini juga ditemukan dari survei batimetri oleh para ilmuwan yang tergabung dalam Operasi Bakti Teknologi Sulteng yang membawa Kapal Baruna Jaya 1-Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Mereka melakukan pemetaan bawah laut di Teluk Palu dan sebagian Selat Makassar dengan menggunakan multi-beam echo sounder serta observasi visual bawah laut menggunakan remote operating vehicle (ROV).
Tim survei yang dipimpin perekayasa BPPT Udrekh ini menemukan, kedalaman dasar Teluk Palu berkisar 50 meter- 800 meter, sedangkan kedalaman di sebagian Selat Makassar yang dipetakan berkisar 310 meter-1.760 meter.
Di Teluk Palu ditemukan sistem sungai bawah laut. Selain itu terpetakan juga sistem pengendapan kipas bawah laut di tebing sisi timur Teluk Palu.
Menurut Udrekh, di Teluk Palu juga ditemukan beberapa lokasi terjadinya longsoran bawah laut. Namun, dia belum bisa memastikan apakah longsoran tersebut terjadi akibat gempa 28 September lalu atau sebelumnya.
Peneliti tsunami yang juga Asisten Deputi Infrastruktur Pelayaran, Perikanan, dan Pariwisata, Kemenkomar, Rahman Hidayat mengatakan, jejak tsunami kebanyakan ditemukan di pesisir di dalam Teluk Palu, tetapi tidak ditemukan secara signifikan di luar teluk. Ini menandai bahwa tsunami yang terjadi berasal dari dalam teluk.
Peneliti tsunami BPPT, Widjo Kongko, yang turut dalam survei Operasi Bakti Teknologi Sulteng, mengatakan, tinggi tsunami maksimum di Teluk Palu mencapai 7 meter dan rambatan di daratan (runup) hingga 9 meter.
”Kalau dari gempanya saja, tinggi tsunaminya akan kecil, apalagi mekanismenya sesar geser. Jadi memang ada sumber lain dan bukti-bukti memang mengarah pada longsoran bawah laut,” katanya.
Tsunami dari longsor lebih sulit dimitigasi ketinggian ataupun waktu tibanya. Kalau volume longsornya besar dan sumbernya lebih dekat daratan, waktu tibanya akan lebih cepat dan tsunaminya juga bisa lebih tinggi. ”Jadi, untuk tsunami belum bisa dikatakan kali ini yang terparah,” katanya.
Widjo Kongko juga mengatakan, dengan karakter tsunami di Teluk Palu yang bersifat lokal dan datang ke pesisir rata-rata tiga menit setelah gempa, sistem peringatan dini tsunami (InaTEWS) menjadi tidak efektif. Ini karena peringatan dini tsunami baru bisa dikeluarkan BMKG rata-rata enam menit setelah gempa.
(AIK/LAS)