79.000 Klaim Rumah Sakit Berpotensi Anomali
Tarif rumah sakit yang dinilai kurang memadai bisa memunculkan potensi kecurangan dalam pengajuan klaim biaya kesehatan.
JAKARTA, KOMPAS – Pengendalian biaya kesehatan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat menjadi salah satu upaya penting untuk menunjang keberlanjutan program tersebut. Oleh karena itu, pengendalian terhadap biaya kesehatan yang tidak tepat perlu dilakukan dengan saksama.
Data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tahun 2017 menunjukkan, terdapat potensi ketidaktepatan klaim dari rumah sakit sebanyak 79.000 klaim. Nilai yang bisa diselamatkan dari klaim yang janggal itu lebih dari Rp 48 miliar.
Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi, Senin (12/11/2018), di Jakarta, menilai, munculnya potensi ketidaktepatan klaim tidak bisa dilepaskan dari pembiayaan kesehatan JKN-KIS yang tidak mencukupi. Dengan tarif yang belum memadai, rumah sakit cenderung melakukan penyesuaian yang berisiko dinilai sebagai fraud, melanggar etik, disiplin, bahkan hukum.
Munculnya potensi ketidaktepatan klaim tidak bisa dilepaskan dari pembiayaan kesehatan JKN-KIS yang tidak mencukupi.
"Kondisi yang dihadapi rumah sakit terkait kesisteman pembiayaan saat ini tidak gampang," ujar Adib.
Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan Maya Amiarny Rusady, mengatakan, potensi ketidaktepatan klaim tersebut terdeteksi melalui aplikasi Deteksi Fraud Melalui Analisa Data Klaim (Defrada) yang merupakan salah satu cara untuk mendeteksi adanya anomali. Ketidaktepatan klaim tersebut belum tentu fraud atau curang. Perlu pembuktian untuk menetapkan sebuah klaim itu fraud atau bukan.
Mayoritas klaim yang anomali tersebut adalah klaim yang ditagihkan lebih besar dari yang seharusnya dibayarkan. "Bisa jadi ini terjadi karena ketidakpahaman petugas terhadap kaidah pengkodean," kata Maya.
Akan tetapi, jika terbukti fraud maka tindak lanjutnya akan diputuskan bersama dengan pemangku kepentingan lain seperti misalnya asosiasi rumah sakit dan dinas kesehatan. Bagi yang terbukti sanksinya bisa sampai pemutusan kerja sama.
Komitmen UHC
Dalam Peta Jalan Jaminan Kesehatan Nasional, pemerintah menargetkan pada 2019 Indonesia mencapai cakupan jaminan kesehatan semesta atau Universal Health Coverage (UHC). Pelayanan bagi peserta yang belum optimal termasuk aspek pendanaan yang kurang hingga berimplikasi luas, merupakan persoalan yang harus diselesaikan sebelum mendeklarasikan diri mencapai UHC.
Adib mengatakan, Indonesia belum siap merealisasikan cakupan jaminan kesehatan semesta atau UHC pada 2019. "Terlalu dini menyatakan diri mencapai UHC hanya melihatnya dari sisi kepesertaan. Perlu ada evaluasi terlebih dulu dan menyelesaikan masalah yang ada," katanya.
Indonesia belum siap merealisasikan cakupan jaminan kesehatan semesta atau UHC pada 2019.
Problem utama JKN-KIS selama ini adalah disharmoni regulasi yang dikeluarkan antar pemangku kepentingan. Contohnya, aturan dari BPJS Kesehatan yang tidak mengakomodasi proses perpanjangan Surat Izin Praktik (SIP) dokter dalam sistem mereka. Kemudian aturan tentang kegawatdaruratan yang berbeda antara BPJS Kesehatan dengan Kementerian Kesehatan.
Aspek lain yang jadi persoalan adalah standar layanan bagi peserta yang belum optimal yang terkait dengan ketidakcukupan pembiayaan. Ketidakcukupan pendanaan tersebut berimplikasi luas mulai dari klaim rumah sakit yang terlambat dibayar hingga peluang melakukan klaim biaya kesehatan yang tidak sesuai dengan prosedur.
Ketua Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia Jawa Timur Dodo Anondo, menyebutkan, pembayaran rumah sakit kepada penyuplai obat dan alat kesehatan biasanya dua bulan. Namun, pembayaran klaim BPJS Kesehatan pada rumah sakit lebih dari itu. Akibatnya, arus kas rumah sakit terganggu.
Karena pembayaran klaim sering terlambat, Pemerintah Provinsi Jawa Barat tengah mencari dana talangan dari perbankan untuk menutupi biaya operasional rumah sakit. Tujuannya, agar pelayanan tetap berjalan.
Ketua Ikatan Ahli Ekonomi Kesehatan Indonesia Hasbullah Thabrany menyebutkan, komitmen pemerintah pada UHC sebenarnya bisa dilihat juga dari besarnya dana publik yang dialokasikan untuk kesehatan sehingga belanja kesehatan yang jadi beban rumah tangga (out of pocket/OOP) bisa minimal.
Komitmen pemerintah pada UHC sebenarnya bisa dilihat juga dari besarnya dana publik yang dialokasikan untuk kesehatan sehingga belanja kesehatan yang jadi beban rumah tangga (out of pocket/OOP) bisa minimal.
Selama ini dana publik untuk kesehatan tidak pernah lebih dari 5 persen PDB sehingga tahun 2014 saja OOP masih 47 persen.
Standarisasi pelayanan kesehatan
Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Zaenal Abidin berpendapat, persoalan program JKN-KIS yang paling mendesak untuk dibenahi saat ini adalah standardisasi pelayanan kesehatan untuk tiap penyakit yang dijamin. Selama ini, standar yang digunakan belum jelas.
“Standar yang dimaksud merujuk pada Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) yang disusun oleh organisasi profesi dan disahkan oleh Menteri Kesehatan. Tanpa adanya standar ini, BPJS Kesehatan bisa saja membayar layanan kesehatan lebih dari standar ataupun kurang dari standar. Begitu pula layanan yang diterima oleh peserta” katanya.
Standar pelayanan kedokteran digunakan sebagai pedoman untuk menegakkan diagnosis, pemberian obat, dan menjelaskan kemungkinan hasil pengobatan kepada pasien. Dengan adanya PNPK, BPJS bisa menakar pembayaran layanan yang sesuai kemampuannya tanpa mengurangi standar layanan yang diberikan ke peserta.
Seorang keluarga pasien sakit gigi dari Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang, Anang Prasetyo menyayangkan bahwa selama ini keluarganya rutin membayar premi BPJS Kesehatan melalui perusahaan tempat mereka bekerja. Namun saat dibutuhkan, ternyata tidak seperti harapan.
"Kami sudah memenuhi kewajiban membayar premi BPJS dengan tertib setiap bulan. Tapi saat hendak memanfaatkan hak, kenapa sulit sekali. Datang sudah pagi, tapi tetap saja tidak bisa dilayani karena kuota harian sudah penuh,” katanya.
(DEONISIA ARLINTA/IQBAL BASYARI/SAMUEL OKTORA/DAHLIA IRAWATI/RENY SRI AYU)