Buku Putih, Pedoman Wujudkan Indonesia Poros Maritim Dunia
Oleh
Adhi Kusumaputra
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Cita-cita mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia memerlukan konsistensi berkelanjutan. Maka, keberadaan buku putih sebagai pedoman mencapai poros maritim dunia menjadi penting bagi pelaksanaan sebuah kebijakan diplomasi maritim.
”Buku putih diplomasi maritim secara spesifik berbicara mengenai diplomasi maritim. Hal ini berguna untuk memetakan wilayah diplomasi Indonesia secara keseluruhan sampai pada rencana operasinya,” kata Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Inggris dan Irlandia Rizal Sukma, di Jakarta, Selasa (13/11/2018).
Hal ini disampaikan dalam kuliah umum bertemakan ”Indonesia Maritime Diplomacy: Global Maritime Fulcrum and Beyond”. Rizal menyampaikan, buku putih perlu segera dipublikasikan. Sebab, tanpa keberadaan buku putih, target dan tujuan dari setiap forum atau pertemuan menjadi tidak terarah.
Diplomasi maritim sudah berjalan sejak awal pemerintahan Presiden Joko Widodo pada tahun 2014. Namun, Rizal menegaskan, tidak berarti buku putih nantinya malah menjadi starting point bagi upaya mewujudkan poros maritim dunia.
”Ketika buku putih dipublikasikan menjadi dokumen resmi pemerintah, fungsinya akan menjadi dua. Mengodifikasi mengenai apa yang sudah dan akan terus dikerjakan. Selain itu, buku putih akan memuat agenda penting yang menjadi prioritas dalam pelaksanaan diplomasi maritim,” tutur Rizal.
Asisten Deputi Navigasi dan Keselamatan Maritim Kementerian Luar Negeri Odo Manuhutu menyampaikan hal senada. Ia juga mengatakan, buku putih akan dipublikasikan dalam waktu satu hingga dua bulan ke depan.
”Buku putih sebenarnya sudah rampung. Kami tinggal menjelaskan paparan isinya secara rinci kepada Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan,” ujar Odo.
Odo menambahkan, ada tiga prinsip dalam buku putih. Pertama, Indonesia harus proaktif dan independen dalam menentukan kebijakan luar negeri. Kedua, segala perjanjian atau kerja sama harus terkait pembangunan.
”Prinsip ketiga, kita mendorong agar setiap penyelesaian masalah yang ada di berbagai kawasan harus berdasarkan hukum, misalnya pada UNCLOS (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut),” papar Odo.
Selain itu, sebagai pedoman dalam melaksanakan diplomasi maritim, buku putih juga memuat rekomendasi dalam bentuk langkah nyata. Pelaksanaan diplomasi maritim akan melibatkan berbagai sektor.
”Nantinya, kami akan ada kerja sama konkret dengan para pemangku kepentingan lainnya. Tak hanya instansi terkait, kami juga akan melibatkan akademisi, startup, dan perguruan tinggi,” lanjutnya.
Odo menegaskan, buku putih merupakan turunan dari Kebijakan Kelautan Indonesia yang diluncurkan pada 14 Februari 2017. Kebijakan ini diatur dalam Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2017.
”Dalam implementasinya, keberadaan buku putih akan memberikan visi maritim lebih jelas. Hal ini akan memberi kejelasan bagi teman-teman, baik di Kemlu maupun luar Kemlu, untuk melakukan diplomasi maritim,” kata Odo.
Diplomasi maritim
Secara luas, diplomasi maritim berarti bagaimana sebuah negara memanfaatkan potensi maritim untuk digunakan dalam mencapai kepentingan nasional. Menurut Rizal, ada tiga kepentingan nasional terkait maritim.
”Memperkuat rules and norms, mempertahankan dan melindungi kedaulatan laut, termasuk zona ekonomi eksklusif, dan melindungi sumber daya laut kita, terutama di wilayah yang overlap dengan imaginary lines,” ucap Rizal.
Sebagai negara yang diapit dua samudra, yaitu Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, Indonesia tidak dapat hanya dilihat dari posisi geografisnya. Rizal menyebutkan, kita perlu melihat posisi ini sebagai geopolitik dan geoekonomi.
”Kalau ada rivalitas atau kerja sama terjadi di kedua samudra ini, kita harus ingat bahwa posisi kita di tengah. Maka, kita harus memiliki cara pandang, doktrin, dan susunan agenda sendiri agar tidak terpengaruh pihak mana pun,” ucap Rizal.
Dalam empat tahun kepemimpinan Jokowi, Rizal mengatakan, pemerintah lebih banyak memperkuat landasan untuk menjadi poros maritim dunia. Ini misalnya pembangunan regulasi, pembangunan pelabuhan, dan manajemen kapal.
”Meski tak secepat pembangunan di dalam negeri, perkembangan diplomasi maritim juga sudah mengarah ke hal positif, seperti inisiatif untuk lebih berfokus pada negara-negara IORA, inisiatif dari Kemenko Maritim, yaituArchipelagic and Island States Forum,” kata Rizal. (SHARON PATRICIA)