JAKARTA, KOMPAS—Jejak riwayat Pangeran Diponegoro di berbagai tempat terancam hilang ataupun berkurang nilai sejarahnya, antara lain karena kepentingan bisnis serta ketidaktahuan dalam mengelola warisan sejarah. Pembukaan Kamar Diponegoro di Museum Sejarah Jakarta mesti jadi momentum untuk perbaikan pengelolaan.
“Pembukaan Kamar Diponegoro di sini bisa menjadi pemantik bagi pengelola museum di Yogyakarta, Magelang, dan Benteng Ungaran,” ucap salah satu generasi ketujuh Pangeran Diponegoro, Ki Roni Sodewo, di sela pengumuman pembukaan Kamar Diponegoro di Museum Sejarah Jakarta, Kawasan Kota Tua, Jakarta Barat, Senin (12/11/2018).
Di ruang pamer baru museum itu, koleksi dan uraian penjelasannya ditata sedemikian rupa agar pengunjung mudah memahami sejarah Pangeran Diponegoro. Ruang tersebut adalah ruang asli yang dipakai untuk menahan Diponegoro tanggal 8 April-3 Mei 1830. Kurator ruang pamer merupakan sejarawan asal Inggris yang lebih dari 40 tahun meneliti riwayatnya, Peter Carey. Keseriusan dalam menggarap Kamar Diponegoro menurut Roni harus ditiru pengelola tempat bersejarah terkait Diponegoro lainnya.
Roni mencontohkan, kompleks Sasana Wiratama Pangeran Diponegoro di Kecamatan Tegalrejo, DI Yogyakarta, berdiri di atas bekas kediaman Sang Pangeran yang dihancurkan pasukan Belanda pada 20 Juli 1825. Terdapat peninggalan sejarah yang mesti dilestarikan, yaitu pondasi mihrab masjid. Sayangnya, bekas pondasi itu ditutup pengelola dengan semen.
Di Magelang, rumah tempat Diponegoro ditangkap dijadikan museum dan berada dalam kompleks kantor Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) II Jawa Tengah. Setiap akhir pekan, biasanya kompleks itu juga dijadikan tempat resepsi pernikahan, termasuk dengan konsep luar ruang. “Anak-anak bisa datang ke museum hanya hari Sabtu atau Minggu. Saat datang, mereka dikalahkan oleh yang menikah, tidak boleh masuk museum. Ini kan gila,” ujar Roni.
Karena itu, Roni berterima kasih kepada Peter Carey dan berbagai pihak yang menginisiasi pembukaan Kamar Diponegoro di Jakarta. Kepala Unit Pengelola Museum Kesejarahan Jakarta Sri Kusumawati mengatakan, Pemerintah Provinsi DKI berkontribusi dengan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) sekitar Rp 20 juta terhadap pengerjaan ruang pamer Kamar Diponegoro, antara lain untuk pemasangan dinding dan lantai tambahan.
Mulai Selasa (13/11/2018), pengunjung Museum Sejarah Jakarta bisa sekaligus mengunjungi Kamar Diponegoro, yang berlokasi di lantai dua sayap barat gedung. Tidak ada tambahan biaya. Pengunjung umum cukup membayar Rp 5.000 per orang, mahasiswa Rp 3.000 per orang, serta anak dan pelajar Rp 2.000 per orang, untuk menjelajahi seluruh area gedung museum yang dahulu dijadikan Stadhuis (balai kota) pusat pemerintahan kolonial Hindia Belanda itu.
Sebelumnya, area yang dijadikan Kamar Diponegoro ditutup untuk umum mengingat pengelola belum bisa memastikan ruang mana yang digunakan Belanda untuk menahannya. “Pak Peter lantas menggunakan beragam rujukan untuk mendapatkan kepastian. Ada tulisan yang menyebutkan, Pangeran Diponegoro ditempatkan di dua ruang berlangit-langit rendah di lantai atas, berfungsi sebagai tempat tinggal sipir penjara,” kata Kusumawati.
Peter menyebutkan, meski Diponegoro hanya 26 hari berada di Stadhuis, peristiwa-peristiwa penting terjadi di sana. Salah satunya, pembuatan sketsa arang sosok Diponegoro oleh seorang hakim kepala (hoofdbaljuw) dan juru gambar bernama Adrianus Johannes Bik. “Lukisannya jadi rujukan untuk membuat uang kertas (dengan gambar Diponegoro), pada 1952 dan 1975,” tuturnya.