JAKARTA, KOMPAS — Pemuda masa kini dinilai belum tegas dalam bersikap dan kurang menjadi diri sendiri. Mereka perlu mengenali jati diri bangsa secara mendalam, terutama sebagai warga Indonesia yang terdiri dari beragam latar suku, ras, dan agama.
Hal tersebut menjadi fokus dalam diskusi dengan tema ”Pahlawan Zaman Now” di Jakarta Selatan, Senin (12/11/2018) malam. Aktivis dari berbagai bidang, mulai dari politik, olahraga, dan seni, turut menanggapi kecenderungan permasalahan pemuda zaman sekarang.
Politisi Wanda Hamidah menilai pemuda saat ini cukup kritis dalam berpendapat, tetapi belum dibarengi dengan referensi bacaan yang kuat. Literatur mengenai sejarah kebangsaan perlu diketahui agar pemuda memiliki ”sikap” terhadap kondisi politik tertentu.
”Seiring perkembangan teknologi, banyak pemuda saat ini semakin jarang membaca. Padahal, membaca itu penting untuk menentukan cara mereka bersikap,” kata Wanda.
Hal berbeda dilihat dari bidang olahraga. Pegiat dan pendiri klub sepak bola Bogor FC, Effendy Syahputra, mengatakan, permasalahan pemuda dalam sepak bola saat ini ada pada rasa saling hormat antarsesama penggemar.
Hal itu ia rasakan pada sejumlah pemuda penggemar klub sepak bola di Bogor. Para pemuda itu bisa bertengkar hanya karena mendukung klub sepak bola yang berbeda.
”Penggemar klub sepak bola Persib dan Persija yang sama-sama berada di sini (Bogor) saja bisa saling bertengkar. Padahal, dua klub tersebut asalnya bukan dari Bogor, melainkan Jakarta dan Bandung,” ujar Effendy.
Sikap saling menghormati itu ia coba tumbuhkan di kalangan pelajar tingkat SD dan SMP. Setiap pekan, ada dua sekolah yang ia kunjungi di Bogor untuk menyebarkan sikap sportivitas penggemar sepak bola pada usia dini.
Di bidang musik, komponis Ananda Sukarlan merasa belum menemukan terobosan dari musisi generasi muda. Dalam konteks musik klasik, ia mengatakan komponis muda saat ini berpuas diri dengan memainkan gubahan-gubahan klasik dari Barat.
Hal tersebut disayangkan oleh Ananda. Sebab, Indonesia memiliki kekayaan lagu daerah yang berlimpah dan dapat digubah secara kreatif. Ia mencontohkan karyanya, Rhapsodia Nusantara, berusaha merangkum satu hingga dua lagu daerah dari setiap provinsi di Indonesia dalam gubahan musik piano klasik.
”Hal semacam itu juga bisa dilakukan musisi muda sekaligus mengenalkan ragam lagu daerah kepada khalayak yang lebih luas,” kata Ananda.
Masih dalam peringatan Hari Pahlawan pada 10 November, cara para aktivis tersebut diharapkan menjadi inspirasi bagi pemuda. Astar Simorangkir, penyelenggara acara dari Rumah Bersama Pelayan Rakyat, menekankan pemuda agar terbuka dengan segala saran untuk introspeksi diri.
Berdasarkan data Litbang Kompas, Senin (5/11/2018), sebagian besar pemuda dari kalangan pelajar dan mahasiswa menganggap sosok pahlawan yang relevan dengan masa kini dilakukan melalui perjuangan menyejahterakan masyarakat. Meski memiliki anggapan tersebut, sebagian besar pemuda mengalami kesulitan mengingat sejarah pahlawan terdahulu karena hidup di zaman berbeda. (ADITYA DIVERANTA)