Pengumuman hasil koreksi data produksi beras dinilai sebagai langkah yang maju. Namun, setelah memperbaiki data, pemerintah dinilai perlu mengevaluasi kebijakan perberasan nasional.
JAKARTA, KOMPAS – Dengan metode penghitungan yang baru, yakni kerangka sampel area, potensi produksi beras tahun ini ditaksir 32,42 juta ton atau 32 persen lebih rendah dibandingkan proyeksi dengan metode sebelumnya. Sementara luas baku sawah, sesuai data yang diumumkan pemerintah pada 22 Oktober 2018, berkurang dari 7,75 juta hektar tahun 2013 menjadi 7,1 juta hektar tahun 2018.
Sejumlah lembaga, akademisi, dan asosiasi mengapresiasi langkah tersebut. Namun, koreksi data berimplikasi ke sejumlah hal, termasuk di antaranya soal subsidi pupuk dan benih, bantuan alat mesin pertanian, hingga ke urusan kesejahteraan petani dan pertumbuhan ekonomi.
Pendiri House of Rice, Bayu Krisnamurthi, saat berkunjung ke redaksi Kompas di Jakarta, Senin (12/11/2018) menyatakan, pemerintah sebaiknya tidak berhenti pada data. Hasil perbaikan data jadi pijakan yang baik untuk mengevaluasi kebijakan perberasan nasional.
Hadir dalam kunjungan itu antara lain mantan Menteri Pertanian Anton Apriyantono, peneliti Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) M Husein Sawit, dan mantan direksi Perum Bulog Tito Pranolo.
Menurut Bayu, sejumlah kebijakan perberasan perlu dievaluasi, antara lain terkait keberadaan Satgas Pangan, tim penyerapan gabah (sergab), penerapan harga eceran tertinggi (HET) beras, serta pengadaan dan operasi pasar beras oleh Perum Bulog.
Pengawasan ketat oleh Satgas Pangan dinilai turut memicu lonjakan harga beras pada puncak musim paceklik Desember 2017-Januari 2018. Pengawasan dengan melibatkan aparat dianggap merusak insentif perdagangan antarwaktu, antartempat, dan antarpulau. Keberadaan satgas mampu membuat harga relatif stabil, tetapi dalam jangka panjang berdampak buruk pada industri penggilingan padi.
Kebijakan HET juga dinilai kurang efektif. Menurut Husein, risiko usaha penggilingan padi dan pelaku usaha beras menjadi tinggi karena HET ditetapkan tidak wajar dan dipaksakan untuk menekan margin pemasaran.
Kebijakan pengadaan beras juga terkendala. Sebab harga beras di pasaran jauh melampaui harga pembelian pemerintah (HPP) yang masih didasarkan pada Instruksi Presiden 5 Tahun 2015. Pengadaan gabah/beras oleh Perum Bulog cenderung turun dari 2,4 juta ton pada kurun 2014-2016 menjadi 2,1 juta ton tahun 2017, dan tahun ini diperkirakan 1,6 juta ton.
Lahan
Terkait stabilisasi harga beras, ada perubahan lanskap pascapemberlakuan bantuan pangan non tunai. Sebab, warga miskin yang selama ini menjadi saluran beras Bulog kini beralih ke pasar. Padahal, menurut Anton, selain fungsi stabilisasi, program raskin/rastra menyeimbangkan arus masuk dan keluar beras Bulog.
Hal lain yang dinilai perlu jadi perhatian adalah soal berkurangnya luas baku sawah. Penyusutan sekitar 650.000 hektar dalam kurun lima tahun merupakan ancaman serius bagi penyediaan pangan di masa depan. Sebab tekanan terhadap lahan bakal semakin besar.
Terkait itu, Kementerian Pertanian menyatakan fokus menguatkan mekanisasi dan pemanfaatan lahan yang selama ini tidak produktif, seperti rawa. Harapannya, produksi beras bisa lebih efisien, volumenya juga lebih besar.
Menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian Syukur Iwantoro, pihaknya tengah memperkuat mekanisasi. “Kami juga menggarap bengkel alat mesin pertanian untuk mempermudah perawatan. Harapannya, pada 2019, bengkel ada di semua kecamatan,” ujarnya saat dihubungi, Senin (12/11/2018).
Potensi rawa diperkirakan 9,2 juta hektar. Saat ini yang sudah dimanfaatkan sekitar 1,2 juta hektar dan sebagian besar di Kalimantan Selatan dan Sumatera Selatan. Agar layak ditanam, kata Syukur, teknik pengairan jadi aspek penting.