A Prasetyantoko, Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta
·4 menit baca
Cukup baik tak lagi cukup. Ungkapan ini relevan untuk menjelaskan penurunan peringkat kemudahan berusaha dari 72 pada 2018 menjadi 73 pada 2019. Tahun lalu, kita dinobatkan sebagai satu dari 10 negara dengan perbaikan paling progresif. Hal ini ditunjukkan dengan lompatan drastis, dari peringkat 106 pada 2016 menjadi 91 pada 2017 dan peringkat 72 pada 2018. Dalam tiga tahun kita berhasil naik 34 peringkat. Sayangnya, pada pemeringkatan 2019 justru turun.
Kendati perbaikan terus diupayakan, namun negara lain lebih progresif, sehingga meskipun nilainya naik peringkat kita turun. Dalam pemeringkatan 2019 ini, skor kita 67,96 atau naik 1,42 dari tahun lalu. Namun, negara lain skornya naik lebih tinggi, misalnya Afghanistan (skornya naik 10,64), Djibouti (naik 8,87), China (naik 8,4) dan India (naik 6,63).
Presiden Joko Widodo dikenal sangat progresif melakukan perubahan. Namun, di tahun keempat pemerintahannya, progresivitasnya menurun. Pertama, terkait gejolak global yang memberi tekanan cukup berat pada perekonomian domestik. Kedua, dinamika politik dalam negeri meningkat menghadapi Pemilu 2019. Implikasinya, fokus pada tranformasi perekonomian menjadi redup. Namun, di situ lah tantangannya.
Proses tranformasi biasanya memiliki siklus, yakni awalnya progresif pada satu titik, kemudian melambat (salah satunya karena ada resistensi dari berbagai pihak) sebelum akhirnya turun. Secara alamiah, siklus perubahan membentuk formasi huruf U terbalik. Justru titik kritisnya terjadi pada fase pelambatan, sehingga perlu upaya lebih keras mendorong siklus perubahan kembali naik.
Negara dengan peningkatan skor tertinggi bisa dikategorikan menjadi dua. Pertama, kelompok negara yang belum banyak berubah, sehingga sedikit saja melakukan perombakan, skor melompat. Contohnya, Afghanistan, Djibouti, Pantai Gading, dan banyak negara lain di Kawasan Sub-Sahara. Kedua, negara besar dengan kemauan kuat berubah akibat tekanan eksternal, seperti yang dilakukan China dan India sekarang ini.
Perubahan Global
Perubahan adalah salah satu, kalau bukan satu-satunya, cara untuk bertahan menghadapi ketidakpastian. Dua tahun belakangan, dunia diwarnai ketidakpastian, tak hanya di bidang ekonomi, namun juga politik, sosial, dan kebudayaan (peradaban). Oleh karena itu, periode ini menjadi salah satu momen terbaik untuk melakukan perbaikan di berbagai bidang. Situasi ini mendorong banyak negara, termasuk China dan India, melakukan tranformasi secara progresif.
Di tengah panasnya perang dagang dengan Amerika Serikat (AS), China justru menjadi salah satu negara yang paling progresif mengubah perekonomian domestik mereka. Berbagai inovasi dilakukan di bidang perdagangan dan investasi. Kementerian Perdagangan China baru saja menyelenggarakan acara besar China International Import Expo (CIIE) 2018 selama 6 hari sejak 5 November di Shanghai.
Hajatan besar ini agak tak lazim, karena umumnya negara berlomba-lomba meningkatkan ekspor melalui International Export Expo, seperti yang rutin kita lakukan. China melakukan sebaliknya, mendorong impor. Padahal, meskipun surplus perdagangan mereka besar, tetapi cadangan devisa sudah merosot tajam belakangan ini. Kelihatannya, China ingin menunjukkan itikad baik dengan membuka diri terhadap barang impor serta tak mau memonopoli perdagangan global.
Shang-Jin Wei, mantan ekonom kepala Bank Pembangunan Asia yang juga professor di Universitas Columbia menulis penjelasan menarik di laman Project Syndicate (6/11/2018) soal kebijakan ini. Inti penjelasannya : China adalah negara kaya tenaga kerja, tak saja secara absolut, namun juga secara relatif terhadap sumber daya lain. Sekarang, tingkat upah di China sekitar 85 persen dari rerata global. Dengan masuknya barang impor secara masif, terutama produk padat modal, diharapkan akan mengubah lanskap industri domestik China. Industri padat modal akan pindah ke negara lain karena kalah bersaing dengan produk impor, sementara industri padat karya akan tumbuh lebih pesat. Hasil akhirnya, ekspor China akan naik, karena perekonomian domestik akan tumbuh maksimal melalui keunggulan komparatif yang dimilikinya. Dari penelitian Wei, setiap kebijakan menghilangkan hambatan perdagangan dan investasi, China pada akhirnya justru diuntungkan.
Ada dua pelajaran bagi kita. Pertama, reformasi kebijakan harus ditempatkan dalam strategi besar menghadapi pergeseran situasi global. Tanpa arah yang jelas, kita hanya akan diombang-ambingkan ketidakpastian yang masih akan berlanjut hingga beberapa tahun ke depan. Kedua, reformasi dilakukan hampir semua negara demi kepentingan domestik, yang pada gilirannya memunculkan peluang bagi negara lain.
Merujuk dari yang dilakukan China, salah satu kebijakan yang ingin didorong adalah memindahkan beberapa perusahaan yang tidak lagi kompetitif di dalam negeri serta mengundang investor masuk, baik melalui perdagangan maupun investasi, dengan memanfaatkan keunggulan komparatif mereka. Bagi kita, ada peluang menarik investasi beberapa sektor industri yang sudah tidak kompetitif di China, namun harus bersaing dengan Vietnam, Thailand, dan Malayasia yang peringkat kemudahan berusahanya lebih baik dari kita.
Dalam pemeringkatan terakhir ini, nilai kita turun pada 4 indikator, yaitu perizinan konstruksi, perlindungan investor minoritas, perdagangan lintas batas (negara), dan perlindungan kontrak. Sekalipun sudah banyak berubah, namun perombakan lebih mendasar masih diperlukan. Sayangnya, momentum perbaikan sedikit melambat menjelang Pemilu 2019 ini.
Tak ada cara lain untuk bertahan dalam situasi yang semakin dinamis ini, selain melanjutkan perombakan lingkungan bisnis di dalam negeri secara progresif, hingga ke aspek yang mendasar, bukan saja prosedural.