JAKARTA, KOMPAS — Lembaga penyiaran publik, seperti Televisi Republik Indonesia dan Radio Republik Indonesia, dinilai punya peluang di tengah era disrupsi informasi yang melanda Indonesia. Peran LPP sebagai media otoritatif dibutuhkan dalam mengatasi masifnya penyebaran hoaks di media sosial. Namun, untuk mengambil peluang itu, LPP harus bertransformasi agar relevan dengan kondisi masyarakat.
Tema itu mengemuka dalam diskusi publik ”Tantangan dan Peluang bagi Lembaga Penyiaran Publik di Era Disrupsi Informasi”, di Auditorium Komunikasi, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Selasa (13/11/2018). Diskusi dihadiri antara lain oleh perwakilan LPP, akademisi, masyarakat sipil, dan mahasiswa.
Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo Rosarita Niken Widiastuti mengatakan, Indonesia sedang menghadapi era disrupsi informasi. Setiap menit, ada jutaan informasi yang beredar di internet. Sementara itu, masyarakat mulai menjadikan internet sebagai sumber informasi utama.
”Masyarakat sekarang mengakses informasi cukup dengan gawai. Namun, dari jutaan informasi yang beredar di internet, berapa persenkah yang didukung oleh TVRI dan RRI?” kata Niken.
Menurut Niken, tsunami informasi yang terjadi menyebabkan masyarakat kesulitan mendapatkan informasi yang valid. Pesatnya penggunaan media sosial membuat setiap orang bisa menyebarkan informasi. Sayangnya, hal ini sering disalahgunakan oknum-oknum tertentu untuk menyebarkan konten negatif, seperti hoaks, radikalisme, ujaran kebencian, dan pornografi.
Kondisi tersebut menjadi peluang bagi LPP. Kehadiran LPP dibutuhkan sebagai sumber informasi terpercaya dan penyedia program-program yang mengedukasi masyarakat. ”Namun, LPP harus tahu bagaimana kondisi masyarakat saat ini. Karena pola penggunaan media bergeser ke teknologi digital, LPP harus bisa bertransformasi,” ujarnya.
Niken mencontohkannya pada TVRI. Agar program-programnya menjangkau masyarakat yang lebih luas, TVRI mesti berubah menjadi multiplatform dengan memanfaatkan kanal media sosial, Youtube, dan sebagainya. Dengan demikian, masyarakat tidak perlu lagi menghidupkan televisi untuk menyaksikan program TVRI, tetapi cukup dengan gawai.
Selain platform, TVRI juga mesti berinovasi terhadap program-program yang ditayangkan. Di era digital, konten adalah raja. Oleh sebab itu, program TVRI harus relevan dengan kondisi masyarakat, tetapi tidak mengabaikan prinsipnya sebagai media pemersatu bangsa.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga Suko Widodo mengatakan, agar bisa bertahan, LPP harus memahami karakteristik publik masa kini. LPP harus bisa menyesuaikan diri dengan kondisi masyarakat. Jika tidak, LPP akan semakin ditinggalkan.
”Selama ini, kita membawa apa yang ada di masa lalu ke masa depan. Sekarang tidak bisa seperti itu. Kita harus berubah, jangan berdiam diri,” ujar Suko.
Suko menambahkan, pengelola mesti mengubah pola pikir lama agar LPP kembali mendapatkan masa jayanya. Generasi muda tidak hanya dipandang sebagai target, tetapi harus dilibatkan dalam penyusunan program. Masukan dari mereka akan membuat konten lebih relevan sehingga LPP tidak kehilangan peminat.
Peneliti Remotivi Muhammad Heychael mengatakan, disrupsi informasi menyebabkan masyarakat kesulitan menentukan mana yang hoaks dan mana yang bukan. Sejumlah tokoh publik bahkan saling menyebarkan hoaks tentang satu sama lain jika itu bertentangan dengan kepentingannya. Kondisi itu diperparah dengan terjadinya tren penurunan kepercayaan publik terhadap televisi swasta, baik karena berafiliasi dengan kubu politik tertentu maupun mengedepankan rating.
”Dengan kondisi ini, TVRI punya peluang. Publik kehilangan media otoritatif yang dapat dipercaya. TVRI sebagai televisi publik yang punya independensi semestinya bisa ’bicara lebih’ tanpa tertekan kepentingan politik ataupun ekonomi,” ujarnya.
Namun, menurut Heychael, ada sejumlah hal yang mesti dibenahi oleh TVRI untuk mengambil peluang tersebut. Dia menilai TVRI gamang menerjemahkan visinya sebagai televisi publik yang mestinya memperlakukan penontonnya sebagai publik, bukan konsumen ataupun konstituen.
”Sulit membedakan program TVRI dengan televisi swasta. Program-program TVRI tidak memiliki identitas sebagai televisi publik,” kata Heychael.
Selain itu, TVRI dinilai juga punya persoalan dengan pendanaan. Ketergantungan kepada anggaran dari pemerintah yang jumlahnya tidak seberapa mengancam independensi TVRI. Perlu upaya kreatif agar memungkinkan pendanaan alternatif dari publik, misalnya dengan pengalokasian pajak penghasilan masyarakat untuk TVRI. (YOLA SASTRA)