Menunggu ”Penandaan” Caleg
KPU pernah berencana memberi ”tanda” kepada para caleg bekas napi perkara korupsi. Keseriusan KPU untuk memberi sumbangsih atas perlawanan terhadap korupsi itu ditunggu masyarakat.
Saat penetapan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, Komisi Pemilihan Umum sempat mengumumkan ada 38 calon anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota yang pernah dihukum karena perkara korupsi. Mereka tersebar di 6 provinsi dan 18 kabupaten/kota. Selain itu, ada enam calon anggota DPD yang merupakan bekas napi korupsi, yakni di Aceh, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Utara.
Jumlah ini sudah banyak berkurang. Sebelumnya, saat pendaftaran bakal calon anggota legislatif (caleg), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menemukan ada sekitar 200 bakal caleg yang merupakan bekas napi perkara korupsi. KPU minta partai politik menggantinya karena mereka akan dinyatakan tak memenuhi syarat. Ini karena dalam Peraturan KPU tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD serta Peraturan KPU tentang Pencalonan Anggota DPD, KPU mencantumkan pelarangan pencalonan bekas napi perkara korupsi, kejahatan seksual terhadap anak, dan bandar narkoba.
Belakangan, Mahkamah Agung membatalkan pelarangan pencalonan bekas napi korupsi. Ini membuat KPU memasukkan bekas napi korupsi yang sudah dimenangkan sengketa pencalonannya di Bawaslu dalam daftar calon tetap DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta DPD.
KPU kemudian menyatakan akan mengkaji wacana untuk menandai bekas napi korupsi. ”Opsi ditandai di surat suara sangat kecil kemungkinan dilakukan karena pertimbangan teknis. Yang lebih memungkinkan bisa dilakukan ialah menempel pengumuman di tempat pemungutan suara,” kata anggota KPU, Wahyu Setiawan, beberapa waktu lalu.
Dukungan untuk memublikasikan caleg bekas napi perkara korupsi juga muncul dari Komisi Pemberantasan Korupsi saat berdiskusi dengan KPU, 7 November lalu. Saat itu, KPK diwakili Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.
”Ada saran kepada KPU untuk mengumumkan kepada publik, mantan narapidana korupsi yang sekarang menjadi calon anggota DPR, DPRD, dan DPD,” kata Wahyu.
Wahyu menegaskan akan segera membahas hal itu dalam rapat pleno KPU. Dia tidak khawatir jika pengumuman itu bakal menimbulkan polemik. Pasalnya, hal itu tidak bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyampaikan, pengumuman nama-nama caleg eks napi perlu dilakukan untuk menjaga kualitas demokrasi.
Sanksi sosial
Korupsi sudah menjadi persoalan kronis di Indonesia. Data KPK, dari tahun 2004 hingga 30 Juni 2018, ada 867 orang yang diproses hukum oleh komisi itu karena kasus korupsi. Mereka berasal dari berbagai profesi, mulai dari anggota legislatif di berbagai tingkat, pejabat kementerian, birokrasi, pimpinan daerah, termasuk penegak hukum, hingga swasta.
Di tengah kondisi itu, pengajar Komunikasi Politik Universitas Paramadina, Jakarta, Hendri Satrio, menilai rencana KPU mengumumkan caleg bekas napi perkara korupsi harus direalisasikan. Dari sisi jumlah, jumlah caleg itu memang tidak signifikan dibandingkan dengan total caleg DPR dan DPRD yang mencapai ratusan ribu orang. Namun, pengumuman itu bisa mengirim simbol dan pesan kepada politisi ataupun masyarakat.
”Dengan diumumkan, ada pesan jika caleg eks koruptor yang masih mau jadi wakil rakyat diberi ’sanksi sosial’. Ini juga memberikan pendidikan politik ke rakyat,” ujarnya.
Rencana KPU mengumumkan caleg bekas napi perkara korupsi harus direalisasikan. Dari sisi jumlah, jumlah caleg itu memang tidak signifikan dibandingkan dengan total caleg DPR dan DPRD yang mencapai ratusan ribu orang. Namun, pengumuman itu bisa mengirim simbol dan pesan kepada politisi ataupun masyarakat.
Dengan pertimbangan ini, menurut Hendri, mengumumkan caleg bekas koruptor bukan sesuatu yang ”baik untuk dilakukan”, tetapi sesuatu yang ”perlu dilakukan”.
Sejauh ini, KPU memang sudah memublikasikan data para calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di laman daring infopemilu.kpu.go.id. Publik bisa mengakses biodata caleg, termasuk salinan putusan pengadilan jika mereka pernah jadi narapidana. Namun, tidak semua caleg bisa diakses datanya. Ini karena pada salah satu formulir pendaftaran yang berisi biodata caleg, mereka diberi pilihan apakah setuju atau tidak setuju datanya dipublikasikan. Jika menyatakan tak setuju, informasi caleg itu tak bisa diakses.
Dari penelusuran terhadap 38 nama caleg bekas napi korupsi yang sempat diumumkan KPU, ada 22 nama yang bisa ditemukan Kompas di laman daring KPU. Dari 22 nama itu, hanya 5 orang yang datanya bisa diakses publik. Sementara itu, 11 caleg bekas napi korupsi tidak bersedia dibuka datanya, sedangkan 6 nama lain datanya tak bisa dibuka dengan keterangan ”server sedang sibuk”.
Dari 22 nama caleg DPRD yang bisa ditemukan tersebut, 10 orang ada di nomor urut 1 dan 2. Dalam sistem pemilihan proporsional daftar terbuka, kemenangan tidak ditentukan oleh daftar urut, tetapi dipengaruhi perolehan suara terbanyak. Namun, beberapa penelitian di dalam dan di luar negeri menunjukkan caleg dengan nomor urut kecil lebih punya kesempatan mendapat suara lebih banyak dibandingkan dengan caleg yang berada di nomor urut besar.
Pemilih aktif
Tidak hanya caleg yang pernah menjadi napi korupsi yang ”menutup” datanya dari akses publik. Di pusat, dari 7.968 caleg DPR, ada 2.990 caleg yang tak bersedia datanya dibuka ke publik. Di tingkat provinsi dan kabupaten/kota juga ada caleg yang menolak datanya dibuka.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Donal Fariz, menyampaikan, seharusnya KPU tidak perlu membuka ruang bagi caleg untuk menolak datanya dibuka ke publik. Sebab, data tersebut diperlukan para pemilih dan masyarakat sipil untuk melihat rekam jejak caleg.
Apakah KPU tidak bisa mengambil inisiatif menyurati partai politik untuk ”memaksa” caleg membuka biodatanya ke publik? ”Nanti kami bicarakan dulu,” kata anggota KPU, Pramono Ubaid Tanthowi.
Akankah hal itu terealisasi? Masyarakat tentu menunggunya….