Mereka Menginap di Taman Suropati Setiap Malam
Taman Suropati tak pernah sepi. Sudut-sudut tempat ini selalu menyimpan sisi lain. Salah satunya, orang-orang yang menginap setiap malam.
Sebagai salah satu ruang hijau di jantung kota Jakarta, taman ini tidak melulu milik penjaja makanan-minuman atau pengunjung yang begadang hingga larut malam. Di bagian selatan kawasan taman, banyak orang yang berbaring di lantai dan kursi. Mereka menempati tempat yang dianggap nyaman untuk berbaring.
Dari sejumlah tempat, area bangunan pendopo menjadi yang paling ramai digunakan. Hingga Selasa (13/11/2018) pukul 02.00, ada belasan orang yang tidur di situ dengan alas kardus. Sebagian dari mereka juga menyelimuti diri dengan sarung.
Dari belasan orang itu, ada seorang yang terjaga sekitar pukul 03.00. Idris (59), orang yang baru terjaga itu, tidak lagi melanjutkan tidurnya. Ia lalu membangunkan istrinya, Ningsih (63), untuk makan sahur karena sedang berpuasa.
”Biasanya saya otomatis terbangun karena udara jam segini sedang dingin-dinginnya,” ucap Idris.
Idris mengaku rutin menginap di Taman Suropati sekitar empat bulan terakhir. Ia hidup di jalanan sejak 2017, baru saja digusur dari tempat menginap sebelumnya, di Masjid Sunda Kelapa, pada momen Lebaran beberapa bulan lalu.
Setahun menganggur dari pekerjaan konstruksi lepas (freelance), ia tidak lagi memiliki penghasilan. Sejak itu, ia memutuskan keluar dari rumah sewa yang ia tempati di Pasar Rumput, Jakarta Selatan.
Idris menceritakan, aktivitasnya saat ini tidak berada jauh dari rumah ibadah dan taman. Pagi hingga siang, ia menuju Masjid Sunda Kelapa atau kadang ke Masjid At-Taufiq untuk beribadah, lalu mendapat sejumlah uang dan makanan. Beberapa bulan terakhir, ia kapok ke Masjid Sunda Kelapa karena sempat terjaring razia oleh dinas sosial.
Idris bukannya kerasan di Jakarta. Ia ingin sekali pulang ke Makassar, kampung halamannya. Namun, ia juga sadar bahwa kepulangannya pun tidak akan disambut baik oleh saudara-saudaranya.
Alasan yang sama juga diucapkan pasangan Marni (50) dan Riko (45), penghuni lainnya yang menginap malam itu. Setelah usaha kedai mereka bangkrut tahun lalu, mereka mengais rezeki dari makanan dan sedekah uang yang diberi sejumlah masjid di dekat Taman Suropati.
Hal itu membuat mereka rela berangkat dengan bus dari rumah kontrak di Pabuaran, Tangerang, menuju Taman Suropati. Dalam sehari, mereka mendapat sekitar Rp 50.000. Uang sebanyak itu dianggap lebih menguntungkan daripada menjadi penonton bayaran televisi yang sempat mereka jalani, dengan bayaran sekitar Rp 22.000 per hari.
”Kalau sudah terlalu malam, ya, kami baru menginap di sini,” kata Marni.
Pilihan terakhir
Menginap di Taman Suropati menjadi pilihan terakhir bagi keluarga Idris dan Marni, termasuk bagi pasangan Mira (44) dan Samsudin (44). Mira bercerita bahwa tidur di kawasan Taman Suropati membawa risiko yang harus ditanggung, yaitu mereka tidak dapat sepenuhnya tidur pulas.
”Itu pesan penjaga keamanan di sini. Boleh tidur, tetapi tidak boleh terlalu pulas. Nanti kami dirazia petugas,” tutur Mira.
Alhasil, ia setiap malam tidur bergantian di kursi taman dengan suaminya, sambil berjaga jika mendadak ada razia. Hal itu dilakukan setiap malam, selepas Mira bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada siang hari.
Menurut petugas keamanan taman dari Dinas Kehutanan DKI Jakarta, Jumadi, warga yang tidur dan menginap di Taman Suropati telah ada sejak 2012. Tiap pukul 00.00, mereka menyebar di sekitar area pendopo taman dan halte di Jalan Imam Bonjol. Sebagian dari mereka juga ada yang tidur di Taman Patung Diponegoro, seberang Taman Suropati.
Keberadaan para warga yang merupakan tunawisma ini terbentur dengan Instruksi Gubernur (Ingub) DKI Nomor 53 Tahun 2013. Dalam aturan itu disebutkan bahwa jalan protokol, provinsi, dan kota harus bersih dari keberadaan tunawisma atau dengan sebutan lain penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS).
Sebagai petugas, Jumadi memang tidak membenarkan keberadaan PMKS di sekitar Taman Suropati. ”Kadang bingung juga, sih. Kalau diusir, kesannya jadi tidak etis karena sama-sama manusia,” jawabnya.
Bertahun-tahun, ada aturan yang berlaku secara tidak langsung dan disepakati oleh petugas ataupun para PMKS. Warga tunawisma dibiarkan menginap di taman, tetapi mereka diwajibkan segera pergi saat menjelang pagi.
”Menjelang pagi, mereka yang tidur saya bangunkan dan saya suruh pergi. Kalau memang ada yang bandel, saya foto orangnya dan saya laporkan ke petugas keamanan tingkat atas,” tutur Jumadi.
Siklus itu terus berlangsung. Menjelang pukul 04.00, mereka yang tidur di kawasan taman langsung berpindah menuju masjid terdekat.
Bagi warga PMKS yang terbiasa menginap, hal itu sudah cukup memberi solusi. Setidaknya hingga mereka memiliki cukup uang untuk merencanakan kehidupan yang lebih baik. (ADITYA DIVERANTA)