DEPOK, KOMPAS — Menjelang lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, muncul keinginan agar Indonesia memiliki Lembaga Penyiaran Publik yang tidak dikuasai pemerintah. Meski demikian, seiring dengan perkembangan waktu, intervensi terhadap Lembaga Penyiaran Publik terus-menerus terjadi.
Fakta bahwa pemerintah masih memegang otoritas utama terhadap Lembaga Penyiaran Publik (LPP), baik TVRI maupun RRI, salah satunya tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran LPP.
Pada Pasal 8 disebutkan, RRI dan TVRI mendapatkan izin dan lapor secara tertulis kepada menteri. Bahkan, belakangan muncul wacana dari Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk menjadikan TVRI dan RRI sebagai badan layanan umum (BLU).
Nina Mutmainah Armando, dosen komunikasi FISIP Universitas Indonesia, mengatakan, pada waktu itu pemerintah memang tidak sepenuhnya menolak prinsip netralitas TVRI dan RRI. Namun, dari berbagai kebijakannya, terlihat bagaimana pemerintah memiliki kewenangan untuk mengendalikan LPP dengan memosisikannya sebagai badan usaha milik negara (BUMN).
”Dilihat dari sejarahnya, terlihat bahwa ada upaya-upaya intervensi terhadap independensi TVRI dan RRI,” kata Nina dalam diskusi ”Tantangan dan Peluang bagi Lembaga Penyiaran Publik di Era Disrupsi Informasi”, Selasa (13/11/2018), di Kampus UI Depok.
Untuk memastikan agar LPP tetap independen dan bebas dari intervensi, ada beberapa hal penting yang harus dijaga dalam regulasi LPP, antara lain LPP harus diatur dalam undang-undang tersendiri, tetap dijaga netralitasnya, mengutamakan kepentingan publik, memiliki ketentuan tentang pola kelembagaan, serta ketentuan tentang seleksi Dewan Pengawas (Dewas) dan Dewan Redaksi.
Pembahasan tertutup
Nina juga menyesalkan proses revisi UU Penyiaran di DPR yang akhir-akhir ini tidak terbuka kepada publik. Ini adalah preseden yang tidak baik mengingat proses sebelumnya dalam pembentukan regulasi penyiaran membutuhkan kerja keras dari berbagai pihak, mulai dari masyarakat sipil, akademisi, hingga praktisi penyiaran.
”LPP ini punya publik, maka kami masyarakat sipil akan mendukung penuh. Karena itu, kami merasa khawatir kalau Dewas dan direksi TVRI maupun RRI tidak satu visi tentang LPP karena implikasinya akan besar ke depan, yaitu terjadi politik pecah belah oleh pihak-pihak yang tidak menginginkan adanya LPP yang independen,” lanjutnya.
Peneliti Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR, Ahmad Budiman, mengatakan, informasi yang beredar tentang upaya menjadikan TVRI dan RRI sebagai BLU jelas-jelas mengingkari filosofi kedua LPP tersebut sebagai lembaga negara yang bertugas menyelenggarakan penyiaran publik.
”Ke depan, kita harus bisa membuktikan bahwa LPP harus bekerja untuk sebesar-besarnya kepentingan publik,” ucap Ahmad Budiman.
Anggota Dewas TVRI, Kabul Budiono, mengungkapkan, saat ini TVRI masih mengalami masalah-masalah aktual, mulai dari persaingan, ketidakpercayaan, hingga digitalisasi.
Kabul berharap, regulasi LPP ke depan harus menguatkan TVRI sebagai LPP, mengatasi persoalan tumpang tindih aturan perundangan, otonom dalam pengelolaan sumber daya manusia, kemudahan menambah pendapatan non-APBN dan mengelolanya, serta terjaga dan terlaksananya prinsip-prinsip LPP melalui kelembagaan.