JAKARTA, KOMPAS — Penyederhanaan perizinan dalam investasi hulu minyak dan gas bumi harus mendapat perhatian dalam revisi Undang-Undang tentang Minyak dan Gas Bumi. Dalam kurun 10 tahun terakhir, produksi siap jual atau lifting minyak tak sesuai harapan. Target tahun ini pun sulit dicapai.
Menurut pengajar pada Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, kemudahan perizinan sangat penting dalam usaha menaikkan produksi dan menambah cadangan migas di Indonesia. Kemudahan perizinan dibutuhkan untuk memperlancar aktivitas hulu migas di lapangan. Konsistensi aturan, termasuk aturan perpajakan, sangat krusial untuk diakomodasi dalam revisi UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
”Dan ini muaranya akan kembali kepada status dan posisi lembaga yang menangani pengusaha hulu migas nasional,” kata Pri Agung, Senin (12/11/2018), di Jakarta.
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), yang mewakili pemerintah, adalah lembaga yang mendapat sorotan dalam revisi UU No 22/2001. Sempat muncul wacana mengenai pembentukan BUMN khusus yang tugas dan fungsinya mirip dengan SKK Migas. Dengan demikian, investor berkontrak dengan BUMN khusus tersebut, bukan dengan lembaga pemerintah seperti SKK Migas.
”Harga minyak tak bisa lagi menjadi argumen rendahnya investasi hulu migas di Indonesia. Investasi hulu migas global menunjukkan tren yang naik, bahkan sejak awal 2017,” ujar Pri Agung.
Sejak 2014, investasi sektor migas di Indonesia cenderung turun. Nilai investasi pada 2014 tercatat sebesar 21,7 miliar dollar AS. Angkanya lalu menurun berturut-turut menjadi 17,9 miliar dollar AS (2015), 12,7 miliar dollar AS (2016), dan 11 miliar dollar AS (2017). Adapun realisasi sampai triwulan III-2018 adalah 8 miliar dollar AS.
Secara terpisah, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Agung Pribadi mengatakan, penyederhanaan perizinan menjadi perhatian pemerintah untuk menggairahkan investasi. Sampai September 2018, sebanyak 186 regulasi dan perizinan di lingkungan Kementerian ESDM yang dicabut. Khusus sektor migas, ada 56 regulasi dan perizinan yang dicabut.
”Sesuai instruksi Presiden, aturan yang menghambat investasi sebaiknya dicabut atau dibatalkan. Ini adalah usaha untuk memperbaiki iklim investasi dan merangsang pertumbuhan ekonomi yang lebih baik,” kata Agung.
Sebelumnya, anggota Komisi VII DPR dari Partai Gerindra, Ramson Siagian, mengatakan bahwa revisi UU No 22/2001 tidak akan rampung tahun ini. Semua anggota Komisi VII sedang berfokus menghadapi Pemilu Legislatif 2019 agar terpilih kembali menjadi anggota DPR 2019-2024. Kemungkinan besar pembahasan revisi dilanjutkan usai pelaksanaan pemilu.
Selain UU No 22/2001, revisi juga dilakukan untuk UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Serupa dengan UU tentang Migas, revisi UU tentang Minerba juga tidak bisa dituntaskan tahun ini. Pembahasan revisi UU Migas dimulai sejak 2010, sedangkan revisi UU Minerba sejak 2015.