Soliditas Koalisi Prabowo-Sandi di antara Pilpres dan Pileg
Oleh
Satrio Pangarso Wisanggeni/Pradipta Pandu Mustika
·4 menit baca
Polemik pelik dihadapi oleh kubu pasangan calon nomor urut 02, Prabowo Subianto–Sandiaga Uno, menjelang Pemilihan Umum 2019. Pemungutan suara untuk pemilihan presiden dan legislatif yang dilaksanakan serentak menjadi salah satu akar masalah. Para partai politik pengusung harus memilih antara fokus memenangkan pasangan calon atau menjaga peluang kursi parlemen. Sebab, kedua tujuan tersebut terkadang tidak dapat berjalan beriringan.
Saat ini, dua partai pengusung Prabowo-Sandiaga, yakni Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional, telah menyampaikan membebaskan para calon anggota legislatifnya untuk mendukung capres yang menguntungkan perolehan elektoral partai. Hal ini karena caleg harus bertarung di daerah pemilihan yang bukan menjadi basis suara Prabowo-Sandi.
Saat pembekalan caleg, Minggu (11/11/2018), di Jakarta, Ketua Komisi Pemenangan Pemilu Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono mengatakan, partai hanya bisa mengimbau agar mendukung Prabowo-Sandiaga. Namun, sikap akhir diserahkan kepada caleg sesuai peta kekuatan politik capres-cawapres di wilayahnya dan tidak akan ada sanksi jika ada yang memilih memenangkan Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Acara tersebut pun tak disemarakkan dengan spanduk atau atribut pemenangan Prabowo-Sandiaga, yang juga didukung Demokrat. Spanduk yang menghiasi sepanjang arena pembekalan adalah bendera Partai Demokrat dan spanduk keluarga Yudhoyono. Saat Yudhoyono berpidato pun tidak ada yel-yel dukungan terhadap Prabowo-Sandiaga oleh peserta pembekalan (Kompas, 12/11/2018).
Pada pertengahan Oktober 2018 pun PAN juga telah menyampaikan hal serupa. Wakil Sekjen PAN Faldo Maldini mengungkapkan, ada pengaduan kesulitan dari kader partainya untuk mengampanyekan secara frontal sosok Prabowo-Sandi di beberapa daerah. ”Mereka takut kampanye (pilpres) mereka berpengaruh negatif terhadap perolehan suara partai,” katanya.
Faldo dan para kader dalam tubuh PAN menyadari, hanya Partai Gerindralah dalam koalisi Prabowo-Sandi yang mendapat keuntungan terbesar karena kadernya diusung langsung dalam pemilu serentak tersebut.
Menurut peneliti politik Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, Partai Demokrat menunjukkan sikap setengah hati terhadap koalisi Prabowo-Sandi.
”Sikap Partai Demokrat ambigu dan ambivalen. Karena di awalnya sudah terjadi tarik ulur, ada juga kasus pernyataan kontroversial oleh Andi Arief setelah Agus Harimurti Yudhoyono tidak dipilih. Namun, Demokrat tidak lagi punya pilihan, mereka harus memilih. Partai Demokrat mungkin setengah hati saja,” kata Arya.
Arya mengatakan, dengan adanya ambang batas parlemen sebesar 4 persen serta kehadiran partai-partai baru, kontestasi Pemilu 2019 menjadi ketat. Sikap Partai Demokrat merupakan cara mereka untuk bisa bertahan agar mendapatkan kursi di parlemen.
”Itu merupakan pilhan yang paling pragmatis. Demokrat ingin bisa optimalkan mesin partai untuk kepentingan partai. Demokrat juga tidak punya asosiasi yang kuat dengan Prabowo-Sandi. Ini menunjukkan bahwa Demokrat lebih memprioritaskan pileg daripada pilpres,” kata Arya.
Dengan sikap yang diambil oleh kedua partai tersebut, Arya melanjutkan, soliditas koalisi dan upaya pemenangan Prabowo-Sandi akan terganggu. Bahkan, kondisi ini juga terjadi di kubu Jokowi-Ma’ruf.
Ia mengatakan, partai-partai di luar Partai Gerindra dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang tidak memiliki afiliasi langsung terhadap pasangan calon, akan memprioritaskan pemilihan legislatif.
”Mereka butuh survive (bertahan hidup). Para anggota legislatif petahana ingin kembali masuk ke dalam parlemen,” kata Arya.
Peneliti politik Populi Center, Jefri Adriansyah, menilai, akar permasalahan yang dihadapi oleh kubu Prabowo-Sandi sudah bermula saat perumusan pasangan capres-cawapres.
”Memang sudah sedari awal soliditas koalisi di Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi sulit terwujud. Semua sudah diborong oleh Gerindra; dari capres, cawapres, sampai ketua tim pemenangan,” kata Jefri. Meski Sandi menyatakan mundur dari Gerindra, Jefri menilai, kondisi tersebut menunjukkan bahwa Gerindra tidak menaruh kepercayaan kepada partai-partai yang diajak koalisi.
Strategi politik
Terkait hal ini, Koordinator Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Dahnil Anzar Simandjuntak, menegaskan bahwa Partai Demokrat tetap konsisten mendukung dan memenangkan Prabowo-Sandi dalam Pilpres 2019.
Menurut dia, arahan Yudhoyono terhadap para caleg Demokrat merupakan bentuk strategi dalam menghadapi kontestasi Pemilu presiden dan legislatif yang berjalan serempak.
”Beliau (Yudhoyono) paham sekali strategi seperti apa yang harus dipakai untuk memenangkan Prabowo-Sandi. Kami yakin sejak awal Pak SBY akan terus bekerja untuk memaksimalkan pemenangan Prabowo-Sandi. Namun, di satu sisi, beliau juga punya kepentingan untuk menjaga partai politiknya,” ujar Dahnil ketika dihubungi, Senin (12/11/2018).
Lebih lanjut Dahnil menyatakan, BPN Prabowo-Sandi memaklumi dan menghormati strategi yang diterapkan Yudhoyono ataupun Demokrat tersebut. Strategi tersebut dinilainya tidak akan mengurangi ataupun melemahkan suara Prabowo-Sandi pada Pilpres 2019.
”Saya rasa arahan dari Pak SBY saat pembekalan caleg Demokrat kemarin tidak akan mengurangi atau melemahkan suara untuk Prabowo-Sandi. Arahan tersebut disampaikan karena Pak SBY melihat fenomena caleg di dapilnya yang punya tantangan lebih berat sehingga harus ada strategi tertentu. Terkait itu kami hormati juga,” ujarnya.