DEPOK, KOMPAS -- Televisi Republik Indonesia atau TVRI sedang bertransformasi agar tetap bertahan di tengah era digitalisasi. Namun, upaya tersebut menemui sejumlah kendala, mulai dari anggaran, peralatan, hingga sumber daya manusia.
Direktur Utama TVRI Helmy Yahya mengungkapkan itu dalam diskusi publik "Tantangan dan Peluang bagi Lembaga Penyiaran Publik di Era Disrupsi Informasi di Auditorium Komunikasi, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Selasa (13/11/2018).
"Kami sudah berjuang keras hampir setahun ini mengawal transformasi besar yang diamanatkan dewan pengawas kepada kami. Alhamdulillah, berbagai orang yang kami temui mengatakan, TVRI sudah mulai berubah, walaupun PR kami masih banyak," kata Helmy.
Menurut Helmy, anggaran TVRI sangat kecil. Untuk tahun 2018, anggaran TVRI hanya Rp 860 miliar dan menjadi Rp 951 miliar untuk tahun depan. Padahal, lembaga penyiaran publik itu harus menggaji 4.800 pegawai, membiayai 31 satuan kerja (kantor pusat, studio alam, dan 29 stasiun daerah), dan mengoperasikan 360 pemancar di seluruh Indonesia.
Dari segi biaya produksi, misalnya, anggaran yang tersedia hanya Rp 85 miliar per tahun. Padahal, bagi stasiun televisi swasta kecil anggaran tersebut adalah untuk satu bulan. Berdasarkan hitungan Helmy, untuk menghasilkan program berdurasi satu jam rata-rata anggaran yang dikeluarkan hanya Rp 13 juta.
"Apa yang bisa Anda harapkan untuk membuat program bagus hanya dengan Rp 13 juta. Sementara itu, televisi swasta sudah Rp 200-300 juta per jam. Tetapi kita tidak menyerah," ujarnya.
Apa yang bisa Anda harapkan untuk membuat program bagus hanya dengan Rp 13 juta. Sementara itu, televisi swasta sudah Rp 200-300 juta per jam. Tetapi kita tidak menyerah
Terkait peralatan, menurut Helmy, peralatan TVRI sudah perlu diremajakan karena sudah banyak yang usang. Padahal, peralatan mutakhir diperlukan untuk menunjang kualitas tayangan.
Di negara maju seperti Jepang, televisi publik NHK merupakan lembaga penyiaran yang pertama kali mendapat teknologi terbaru. Adapun di Indonesia kebalikannya.
"Peralatan kami sudah menua. Belum semua diremajakan, meskipun kami sudah punya 63 pemancar digital. Apalagi kita pada 2020 akan analog switch off (beralih ke frekuensi digital). Kalau TVRI dipercaya sebagai pengelola, infrastruktur harus dibenahi," ujarnya.
TVRI juga terkendala dengan SDM. Helmy mengatakan, TVRI kekurangan talenta muda karena didominasi oleh pegawai yang sudah berumur. Kondisi ini disebabkan adanya kebijakan moratorium penerimaan CPNS bagi TVRI selama 15 tahun.
"Bahkan untuk pegawai yang mau pensiun, kami bingung mencari penggantinya. Karena TVRI kan lembaga negara, jadi ada aturan yang harus diikuti," katanya. Namun, persoalan itu persoalan itu mulai diatasi karena pada penerimaan CPNS tahun ini, TVRI menerima 150 pegawai baru.
Helmy pun mengharapkan, dukungan dari semua pemangku kebijakan untuk bersama memajukan TVRI sebagai televisi publik. Menurutnya, persoalan rendahnya kualitas konten di sejumlah televisi swasta ataupun hoaks yang merajalela otomatis akan teratasi jika televisi publik diperkuat.
"Cukup perkuat saja televisi publik, yaitu TVRI. Insya Allah apapun itu namanya post truth era, bisa kita imbangi. Kami sangat siap menjalankan amanat. Tolong bantu kami dalam tiga hal, yaitu anggaran, peralatan, dan SDM. Insya Allah, TVRI menjadi televisi publik yang kembali ke posisi kejayaannya. Mari kita sama-sama memperjuangkan," ujarnya.
Tolong bantu kami dalam tiga hal, yaitu anggaran, peralatan, dan SDM. Insya Allah, TVRI menjadi televisi publik yang kembali ke posisi kejayaannya
Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo Rosarita Niken Widiastuti mengapresiasi sejumlah perubahan yang dilakukan TVRI. Menurut Niken, program-program TVRI semakin bagus dan semakin banyak ditonton masyarakat.
Niken mengakui, keterbatasan anggaran memang menjadi kendala bagi lembaga penyiaran publik seperti TVRI. Namun, hanya meratapi kondisi itu tidak menyelesaikan persoalan. Menurutnya, TVRI bisa menggandeng lembaga lain, baik pemerintah atau swasta dalam menghadirkan program-program yang bagus.
Selain itu, TVRI diharapkan juga lebih melibatkan publik dalam membuat program. Sebagai contoh, TVRI bisa melibatkan generasi milenial dengan membuat lomba video pendek bertema kebhinekaan dan pemenangnya ditampilkan di televisi. Menurut Niken, ide ini akan sangat diminati generasi muda karena mereka sangat akrab dengan konten-konten digital.
"Tetapi ini membutuhkan kreativitas dari kru TVRI. Banyak program kreatif yang bisa dibuat dengan anggaran yang tidak terlalu besar," ujarnya. (YOLA SASTRA)