JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat Indonesia masih menerima secara mentah-mentah informasi di tengah banyaknya bias pemberitaan dari berbagai media massa. Ada sejumlah cara untuk mengatasi hal tersebut, namun belum disadari sepenuhnya oleh mereka.
Hal itu menjadi salah satu poin yang dibahas dalam diskusi buku "Kuasa Media di Indonesia" karya Ross Tapsell di Jakarta Pusat, Rabu (14/11/2018) sore. Ross mengatakan, sulit bagi warga untuk melawan biasnya informasi media massa yang disebabkan pengaruh kepentingan pemilik perusahaan.
Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Atmajaya Andina Dwifatma mengatakan, kondisi itu sebenarnya disadari masyarakat, walau tidak mendalam. Dalam tayangan televisi misalnya, mereka menyadari suatu berita memiliki kepentingan politik. Namun, mereka berpikir itu wajar karena media tersebut milik pengusaha.
Praktik jurnalisme media massa daring yang cenderung memelintir dan memangkas informasi juga turut berkontribusi. Ross mengatakan, media massa daring saat ini cenderung mengambil pernyataan langsung dari satu pihak, lalu memberitakannya tanpa verifikasi.
Ross mengatakan, praktik pemberitaan tersebut membuat informasi semakin bias. Hal itu didukung dengan laporan Edelman Trust Barometer tahun 2018 yang menyebutkan Indonesia memiliki angka persentase potensi berita bohong hingga mencapai 75 persen.
Keadaan itu semakin sulit dengan turunnya angka kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap media massa sebanyak 4 poin. Walau begitu, angka kepercayaan masyarakat masih cukup tinggi di angka 71 poin.
Andina mengatakan, angka kepercayaan tersebut dapat menjadi kesempatan bagi media massa untuk meningkatkan kualitas jurnalismenya. Usaha tersebut dapat dilakukan melalui tayangan data yang menarik secara visual, misalnya melalui infografis.
Sulit dilalui
Menurut Ross, era bias informasi seperti saat ini cukup sulit dilalui. Sebab, ia menilai Indonesia memiliki budaya membagi informasi yang sangat tinggi. Masyarakat bisa begitu percaya dengan informasi yang tersebar di media sosial.
"Ada sejarah panjang yang dilalui Indonesia dalam budaya membagi informasi, sehingga warga cenderung tidak tertarik pada sumber berita yang resmi," kata Ross.
Ia mengatakan, kondisi tersebut dapat diatasi secara langsung melalui dua sisi. Baik dari sisi pemerintah maupun perusahaan media.
Dari sisi regulasi, pemerintah dapat membuat program untuk meningkatkan pengetahuan warga terhadap berita bohong. Sementara itu, perusahaan media massa juga harus meningkatkan profesionalismenya dalam melakukan kegiatan jurnalisme.
Di sisi lain, Andina mengatakan peran media massa berbasis komunitas di daerah juga turut berkontribusi. Media semacam itu menurutnya lebih tersegmentasi dan lebih memenuhi kebutuhan informasi masyarakat di daerah setempat.
Ada sejumlah media seperti Warta Desa di Pekalongan, Jawa Tengah, serta Speaker Kampung di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, yang justru lebih dipercaya masyarakat setempat di era disrupsi informasi. (ADITYA DIVERANTA)