Menjelang Pemilu 2019, pasangan calon presiden-wakil presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin maupun Prabowo Subianto-Sandiaga Uno semakin gencar menyuarakan program-program populis untuk menggaet calon pemilih. Jika Jokowi-Ma\'ruf mendorong geliat bisnis kewirausahaan di pondok-pondok pesantren, maka Prabowo-Sandiaga "menjual" isu tenaga honorer.
Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf Arsul Sani mengatakan, santripreneur pada dasarnya program pemberdayaan kewirausahaan yang tak hanya ditujukan untuk pesantren, tetapi lembaga pendidikan keagamaan lainnya. Potensi kewirausahaan seperti pesantren selama ini dinilai masih kurang tergarap.
“Sebenarnya, kebijakan pemerintah terkait program UMKM ada, tetapi selama ini, khusus di sektor-sektor tertentu belum begitu tergarap, termasuk kalangan santri muda,” kata Arsul.
Dari data Direktorat Jenderal Islam Departemen Agama pada 2016, ada 28.194 pesantren tersebar di Indonesia, dengan jumlah santri 4.290.626 orang. Dengan jumlah itu, para santri jadi kelompok masyarakat yang berpotensi menumbuhkan iklim kewirausahaan dan penggerak ekonomi kerakyatan.
Arsul mengatakan, program santripreneur sejalan visi-misi Jokowi-Ma’ruf yang menitikberatkan pada ekonomi keumatan. Sejalan dengan program pemberdayaan kewirausahaan di kalangan santri itu, Bank Wakaf Mikro di berbagai pesantren di Indonesia akan diperbanyak.
Salah satu janji program santripreneur yang ditawarkan Jokowi-Ma’ruf adalah pemberian bantuan modal bagi para santri untuk memulai usaha (start-up). Pemberian modal diberikan secara perorangan, serta kelembagaan. Dalam berbagai kunjungannya ke pesantren, janji tersebut mulai disampaikan Jokowi.
Direktur Program MataAir Foundation Muhammad A Idris menambahkan, saatnya pengembangan santri vokasional atau kejuruan memang menjadi perhatian. Tantangan kondisi perekonomian ke depan diakui butuh santri-santri muda yang perlu diberdayakan daya saing dan kompetensi kerjanya.
Selama ini diakui program santri vokasional sudah banyak bermunculan.
Namun, Idris mengatakan, pendekatan pemberdayaan kewirausahaan di pondok pesantren masih kurang tepat sasaran dalam konteks pemenuhan kebutuhan industri. Oleh karena itu, ke depan, pendidikan kejuruan bagi kalangan santri harus bertautan (link and match) dengan industri agar para santri kompeten dan mampu menjawab kebutuhan industri. Tidak hanya memperkuat kurikulum pendidikan vokasional, tetapi juga menyediakan SDM pengajar yang kompeten dan merupakan pelaku wirausaha.
“Pesantren jangan dibiarkan sendiri. Selama ini program yang ada tidak mengerti rantai penawaran dan permintaan (supply and demand). Lebih banyak latah, mengikuti tren yang diminati orang tetapi tidak dibutuhkan. Jadi pesertanya memang banyak, tetapi bukan itu yang dibutuhkan industri,” kata Idris.
Dokumen visi dan misi
Sementara itu, bagi Prabowo-Sandiaga, isu tenaga honorer yang “dijual” untuk menggaet calon pemilih merupakan salah satu program aksi dalam visi dan misi mereka. "Mengangkat guru honorer secepatnya, secara berkala, dan kategori dua (K2) jadi aparatur sipil negara (ASN)," demikian program aksi Prabowo-Sandi seperti tertera dalam dokumen visi dan misinya.
Namun, untuk merealisasikan pengangkatan guru honorer bukan perkara mudah. Jika kelak terpilih, Prabowo-Sandi juga akan dihadapkan pada aturan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN seperti yang kini dihadapi oleh pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.
UU ASN sebelumnya dengan tegas menyebutkan, untuk menjadi ASN harus melalui mekanisme seleksi. Ini cara menciptakan ASN berkualitas. Sebab, ASN tulang punggung birokrasi sekaligus ujung tombak pelayanan publik.
Diakui, dengan sistem tersebut, otomatis tak semua tenaga honorer yang berjumlah 438.590 orang, bisa terangkat semuanya. Seleksi akan menyisakan mereka yang terbaik dan kurang.
Persoalan lainnya ditambah, jika diangkat seluruhnya tenaga honorer, anggaran negara akan terbebani. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (2016-2018) Asman Abnur pernah menyebutkan, butuh anggaran Rp 23 triliun setiap tahun jika seluruh honorer diangkat. Ini untuk gaji dan tunjangan mereka. Untuk itu, bebannya tak hanya jadi tanggungan kementerian/lembaga (K/L) di Pusat tetapi juga pemerintah daerah.
Pasalnya, honorer tersebar di Pusat dan juga di banyak pemda. Padahal, belanja pegawai dihabiskan lebih dari 50 persen anggaran daerah. Jika honorer diangkat seluruhnya, hal itu bisa membuat pemda kian sulit membangun daerahnya.
Kalaupun kelak fiskal negara tak terbebani mengangkat seluruh honorer, dan UU ASN direvisi sehingga honorer bisa diangkat tanpa seleksi, Prabowo-Sandi patut mempertimbangkan resiko yang bakal ditanggung pemerintah dan juga rakyat.
Wakil Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara Irham Dilmy mengatakan ratusan ribu honorer kini adalah mereka yang tak lulus seleksi saat pengangkatan honorer di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Artinya, kapasitas mereka diragukan. Apalagi banyak dari pegawai administrasi, jenis profesi yang banyak diisi ASN. “Jadi kalau dipaksakan jadi ASN tanpa seleksi, jelas dampaknya ke kerja pemerintahan,” kata Irham.
Birokrasi bakal diisi orang-orang yang tak punya kapasitas. Akibatnya, hal itu akan menghambat Prabowo-Sandi mewujudkan janji-janjinya di masa kampanye. Sebab, kualitas ASN juga akan menentukan pelayanan birokrasi pada rakyat.