JAKARTA, KOMPAS—Akses dan kemandirian negara-negara yang terhimpun dalam Organisasi Kerja Sama Islam atau OKI dalam memenuhi kebutuhan obat dan vaksinnya akan menjadi fokus pembicaraan dalam pertemuan pertama badan pengawas obat negara-negara OKI di Jakarta, 21-22 November 2018.
Untuk pertama kalinya badan pengawas obat negara-negara OKI akan bertemu serta saling bertukar pengalaman dan berbagi kapasitas dalam mengembangkan produk farmasi, terutama obat dan vaksin.
”Dalam pertemuan itu nanti, badan pengawas obat dari negara-negara OKI akan mengidentifikasi tantangan bidang kesehatan, terutama dalam akses dan pemenuhan kebutuhan obat dan vaksin, kemudian menyusun rencana kerja untuk mengatasi persoalan tersebut,” kata Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Lukito, Selasa (13/11/2018), di Jakarta.
Dalam pertemuan itu nanti, badan pengawas obat dari negara-negara OKI akan mengidentifikasi tantangan bidang kesehatan, terutama dalam akses dan pemenuhan kebutuhan obat dan vaksin.
Sebelumnya, saat menerima kunjungan Penny di Jeddah, Arab Saudi, Sekretaris Jenderal OKI Yousef bin Ahmad al-Othaimeen mendorong terciptanya strategi dan komitmen nyata negara OKI untuk mendukung ketersediaan dan kemandirian dalam memenuhi kebutuhan obat dan vaksin yang aman, bermutu, dan terjangkau.
Saat ini, sebagian negara OKI, terutama yang berkonflik dan berpendapatan rendah, menghadapi kondisi terbatasnya akses terhadap obat dan vaksin. Akibatnya, kematian akibat penyakit yang bisa dicegah dengan vaksin dan diobati tinggi. Kapasitas industri farmasi di antara negara-negara OKI yang ada sangat terbatas sehingga negara-negara tersebut mengimpor obat dan vaksin dari negara di luar OKI atau mitra pihak ketiga.
Tidak hanya kapasitas industri farmasi yang terbatas, kapasitas sebagian badan pengawas obat di negara OKI juga terbatas. Hal ini menyebabkan pengawasan terhadap produk farmasi yang beredar kurang berjalan baik. Keadaan ini memperburuk kondisi yang ada karena potensi beredarnya obat ataupun vaksin palsu yang substandar juga penggunaan obat yang tidak rasional menjadi tidak terkontrol.
Produksi vaksin
Di antara negara OKI, hanya Indonesia, Iran, Senegal, Uzbekistan, Bangladesh, Tunisia, dan Mesir yang memiliki kapasitas untuk memproduksi vaksin. Dari tujuh negara itu, hanya Indonesia dan Senegal yang telah lolos prakualifikasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Senegal hanya memiliki satu vaksin prakualifikasi WHO, yakni untuk demam kuning (yellow fever). Indonesia melalui PT Biofarma sebagai produsen memiliki 11 vaksin yang telah lolos prakualifikasi WHO dan telah diekspor ke sekitar 130 negara.
Itu sebabnya Indonesia ditunjuk Sekretariat OKI sebagai Center of Excellence dalam pengembangan vaksin dan produk biologi. Indonesia dinilai memiliki kepemimpinan dan kompetensi untuk mendorong kerja sama strategis di bidang farmasi.
Penny menginformasikan, sejauh ini, dari 57 negara anggota OKI sudah hampir 30 di antaranya akan hadir dalam pertemuan di Jakarta minggu depan. Di samping membahas berbagai persoalan soal obat dan vaksin ada juga kunjungan ke sejumlah pabrik obat dan vaksin sebagai salah satu rangkaian acara.
Selain terkait obat dan vaksin beberapa isu yang akan dibahas juga menyangkut kehalalan obat, harmonisasi standar, pengendalian obat palsu, dan pengembangan produk bioteknologi dan fitofarmaka.