JAKARTA, KOMPAS — Titimangsa Foundation kembali mementaskan Bunga Penutup Abad untuk ketiga kalinya pada 17 dan 18 November 2018 di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Karya alih wahana dari novel Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa karangan Pramoedya Ananta Toer ini diharapkan semakin meningkatkan minat masyarakat terhadap karya sastra.
Bunga Penutup Abad berkisah tentang kehidupan Nyai Ontosoroh (Marsha Timothy) dan Minke (Reza Rahadian) setelah kepergian Annelies (Chelsea Islan) ke Belanda. Nyai Ontosoroh yang khawatir dengan keberadaan putri bungsunya sekaligus istri Minke itu mengutus Panji Darman untuk memantau perjalanannya di atas kapal secara diam-diam.
Kisah dikemas dengan penceritaan melalui surat-surat yang dikirimkan Panji Darman kepada Minke dan Nyai. Surat demi surat yang dibacakan Minke untuk Nyai membuka nostalgia mereka dengan Annelies. Nostalgia ditampilkan dengan adegan-adegan, mulai dari kisah perkenalan Annelies, Minke, dan Nyai hingga cerita Nyai yang digugat anak tirinya sehingga Annelies terpaksa ke Belanda sesuai keputusan pengadilan.
Cerita berakhir ketika Minke mendapat kabar Annelis meninggal di Belanda. Minke yang dilanda kesedihan kemudian berangkat ke Batavia untuk melanjutkan sekolah menjadi dokter. Dia membawa lukisan potret Annelies yang dilukis oleh sahabatnya Jean Marais (Lukman Sardi). Lukisan itu oleh Minke diberi nama ”Bunga Penutup Abad”.
Produser Bunga Penutup Abad sekaligus pendiri Titimangsa Foundation, Happy Salma, mengatakan, naskah ini dipentaskan kembali karena tingginya animo masyarakat terhadap karya Pram, panggilan Pramoedya Ananta Toer. Sebelumnya, Bunga Penutup Abad pernah dipentaskan di Jakarta (Agustus 2016) dan Bandung (Maret 2017) dan mendapat sambutan positif dari penonton.
Tidak hanya itu, minat masyarakat terhadap karya Pram juga terlihat pada Pameran Catatan & Arsip ”Namaku Pram” yang diadakan Titimangsa Foundation di Jakarta, 17 April dan 20 Mei 2018. ”Dari situ kelihatan yang ingin melihat pertunjukan ini lebih banyak lagi. Akhirnya, kita pentaskan kembali,” kata Happy seusai latihan di Jakarta, Rabu (14/11/2018).
Menurut Happy, meskipun naskah yang ditampilkan sama, pementasan Bunga Penutup Abad punya warna berbeda dari yang sebelumnya. Apalagi, tokoh Nyai Ontosoroh yang biasanya diperankan Happy sekarang digantikan aktris Marsha Timothy.
”Marsha, selain punya kualitas bagus, juga punya dedikasi dan keinginan besar untuk belajar,” ujar Happy menjelaskan alasan pemilihan Marsha.
Happy juga menjelaskan, dirinya melepaskan peran itu untuk memberikan kesempatan kepada aktris lain mengeksplorasinya. Happy tidak ingin terkesan peran itu hanya miliknya meskipun menyukai dan telah memerankannya sejak 2007.
Sutradara Bunga Penutup Abad Wawan Sofwan menambahkan, selain pergantian tokoh, pementasan kali ini juga mengalami perubahan pada sejumlah adegan. ”Ada hal baru yang kita tampilkan. Beberapa adegan diubah untuk memperkuat konflik dan penokohan,” kata Wawan.
Reza Rahadian mengatakan, tidak mudah memerankan karakter Minke meskipun sudah memerankannya pada penampilan pertama dan kedua. Dari segi beban, memang lebih berkurang karena sudah punya pengalaman. Namun, dia tetap harus bekerja keras untuk mengenal karakter ini lebih jauh lagi.
”Saya harus berlatih banyak walaupun sudah pernah memerankan karena memang, jujur, karakternya itu sulit,” ujarnya.
Alih wahana
Happy mengatakan, Indonesia punya banyak karya sastra yang menarik. Maka, melalui pementasan Bunga Penutup Abad, pihaknya ingin terus konsisten mengalihwahanakan karya-karya sastra sehingga bisa menjangkau publik yang lebih luas.
”Karya sastra masih sangat relevan dengan generasi sekarang. Semestinya tidak dicintai penikmat karya tulis saja, tetapi oleh siapa pun, sebagai olahrasa untuk menghargai seni berkehidupan,” ujarnya.
Wawan mengharapkan alih wahana karya sastra menjadi pementasan semakin mengenalkan sastra kepada masyarakat. Dengan menyaksikan pementasan ini, penonton yang belum sempat membaca novel Pram tertarik untuk membacanya.
”Alih wahana juga menjadi jalan keluar dari minimnya naskah teater di Indonesia. Sudah lama kita tidak punya penulis naskah teater. Adapun yang menulis hanya untuk kelompoknya sendiri,” ujarnya. (YOLA SASTRA)