Pengembangan Komoditas Unggulan Papua Belum Optimal
Oleh
Fabio Costa
·4 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Pengembangan komoditas unggulan nonmineral di Provinsi Papua belum optimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini disebabkan minimnya komitmen pemerintah daerah di tingkat kabupaten dan kota serta belum adanya regulasi yang mendukung upaya pengembangan komoditas-komoditas tersebut.
Demikian paparan hasil kajian dalam ”Seminar Hasil Inovasi dan Pengembangan Derivatif Produk Komoditas Unggulan Provinsi Papua” yang diselenggarakan di Jayapura, Rabu (14/11/2018).
Kajian ini merupakan hasil kerja sama Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Papua bersama Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Universitas Cenderawasih dari Maret hingga awal November 2018. Kajian terkait potensi dan kendala yang menghambat pengembangan komoditas unggulan di sejumlah kabupaten di Papua, seperti Jayapura, Jayawijaya, Dogiyai, dan Mappi.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Papua Laduani Ladamay mengatakan, pihaknya telah memetakan puluhan komoditas unggulan dari sektor perkebunan, hasil hutan, dan hasil hutan nonkayu di Papua. Hasilnya, terdapat dua komoditas yang paling berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan warga apabila dikelola secara baik, yakni sagu dan kopi.
Namun, lanjut Laduani, terdapat sejumlah masalah yang menghambat pengembangan kedua komoditas itu. Untuk sagu, permasalahan terkait minimnya inovasi kuliner berbahan sagu dan belum adanya penggunaan teknologi hasil produksi sagu.
Luas hutan sagu di Papua terbesar di Indonesia, yakni 4,7 juta kilometer persegi. Namun, produksi sagu hanya 34.790 ton pada 2017. Dalam kurun yang sama, Provinsi Riau yang memiliki hutan sagu seluas 20.000 kilometer persegi mampu memproduksi 422.382 ton sagu.
”Terkait pengolahan, di Papua baru mencapai 29 olahan kuliner berbahan sagu. Sementara di Maluku dan Riau, produk olahan sagu sudah lebih dari 300,” ucap Laduani.
Sementara itu, masalah yang menghambat pengembangan kopi sebagai komoditas unggulan di Papua, seperti di Jayawijaya dan Dogiyai, meliputi pola tanam, petik, serta pengolahan yang belum sesuai standar. Ada pula masalah rantai tata niaga yang terlalu panjang, yakni dari petani, kemudian pengepul, pedagang besar, hingga distributor di luar Papua.
”Semakin panjang pemasaran akan menyebabkan biaya dan keuntungan yang diambil lembaga pemasaran semakin bertambah. Sementara petani yang bertanggung jawab pada proses pengolahan, transportasi, dan produksi mendapat harga jual yang semakin kecil, yakni Rp 45.000 per kilogram,” ungkap Laduani.
Ia berpendapat, minimnya pengembangan komoditas unggulan di sektor non-sumber daya alam mineral juga berpengaruh pada pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) Provinsi Papua. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Papua pada triwulan ketiga tahun ini mencapai 6,76 persen.
Pertumbuhan ekonomi di Papua masih ditopang dari lapangan usaha di sektor pertambangan dan penggalian, yakni sebesar 38,69 persen. PT Freeport Indonesia yang beroperasi di Kabupaten Mimika paling dominan dalam sektor tersebut. Sementara kontribusi sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan baru mencapai 4,76 persen.
”Solusi untuk mengatasi kesenjangan antara sektor pertambangan dan sektor lainnya adalah komitmen dari kepala daerah dalam membuat regulasi yang mendukung pengembangan komoditas lokal, pengelolaan tata niaga pemasaran, dan pembukaan kawasan industri. Kami telah memasukkan hal ini ke dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah,” tutur Laduani.
Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan IPB, mengungkapkan, dari hasil kajian ditemukan sejumlah masalah, salah satunya program perhutanan sosial di Papua yang masih berjalan lambat. Selain itu, ada pula masalah belum jelasnya status hutan milik masyarakat adat dan pola pendampingan yang serempak tidak sesuai dengan daya tangkap masyarakat.
”Dari temuan kami, ternyata luas hutan masyarakat adat kurang dari 100.000 hektar, sementara jutaan hektar hutan dikuasai perusahaan besar. Untuk pengembangan perkebunan, tentunya masyarakat tak bisa melaksanakannya di hutan milik negara. Karena itu, pemda harus membenahi hubungannya dengan pusat terkait regulasi yang mengatur status kepemilikan hutan,” tutur Hariadi.
Asisten III Sekretariat Daerah Provinsi Papua Elysa Auri mengatakan, pihaknya akan menjadikan hasil kajian tersebut sebagai dasar pengambilan kebijakan dalam pengembangan komoditas unggulan. Hal ini sesuai dengan visi dan misi pemerintah, yakni Papua bangkit, mandiri, sejahtera, dan berkeadilan.
”Pada 2020, Papua akan menjadi tuan rumah Pekan Olahraga Nasional. Kami akan mempersiapkan program pemberdayaan komoditas unggulan, seperti sagu dan kopi, yang bernilai ekonomis tinggi sehingga bisa diminati pengunjung dalam hajatan besar tersebut,” kata Elysa.