PM Fiji Bainimarama Diperkirakan Menang
SUVA, RABU — Dua tokoh yang pernah memimpin kudeta militer yang berbeda di Fiji berjuang untuk menjadi penguasa di negara pulau itu dalam pemilihan umum yang berlangsung pada Rabu (14/11/2018).
Jajak pendapat menunjukkan Perdana Menteri Voreqe Bainimarama atau Frank Bainimarama siap untuk memenangi masa jabatan kedua setelah ia pertama kali mengadakan pemilu demokratis pada 2014 atau delapan tahun setelah ia merebut kekuasaan lewat kudeta.
Lawan utamanya, Sitiveni Rabuka, merupakan pemimpin dua kudeta militer pada 1980-an sebelum menjabat selama tujuh tahun sebagai perdana menteri. Baru pada minggu ini, seorang hakim membebaskan Rabuka dari pelanggaran pemilu, kasus yang dilihat banyak kalangan bermotif politik.
Fiji sangat menjaga agar ketegangan politik tidak sampai memengaruhi industri pariwisata yang sangat vital bagi negara itu. Mengingat sejarah kudeta di Fiji, stabilitas politik telah menjadi masalah besar menjelang pemilihan sebagaimana ketegangan rasial dan masalah ekonomi.
Hujan deras turun saat pemungutan suara berlangsung. Menurut Fiji Times, akibat cuaca buruk ini, kantor pemilihan umum menutup 17 tempat pemungutan suara, yang memengaruhi sekitar 6.000 pemilih. Orang-orang itu akan mendapat kesempatan untuk memilih pada hari yang lain.
Kudeta tahun 2006
Bainimarama, pensiunan Laksamana Angkatan Laut Fiji, difavoritkan tetap memenangi pemilu. Ia mendapat jabatan itu lewat kudeta pada 2006. Masa jabatan kedua diperoleh lewat pemilu pada 2014. Partai Bainimarama, Fiji First, mendapat 56 persen suara kala itu. Sejumlah jajak pendapat menunjukkan elektabilitas Fiji First mencapai 68 persen.
Pesaing Bainimarama antara lain Sitiveni Rabuka dari Partai Sodelpa. Seperti Bainimarama, Rabuka juga pernah terlibat kudeta. Ia disebut sebagai salah satu penggerak kudeta 1987. Setelah itu, ia pernah menjadi PM Fiji. Pada pemilu 2014, Sodelpa meraih 28 persen suara.
Akan dibutuhkan waktu berhari-hari untk mengetahui hasil akhir Pemilu 2018. Meski hanya 920.000 orang, penduduk Fiji tersebar di berbagai pulau. Kondisi geografis itu membuat penghitungan suara dan pengangkutan surat suara butuh waktu.
Analis Lowy Institute Australia, Jonathan Pryke, menyebut Fiji sangat membutuhkan pemilu yang jujur dan adil. Pemilu itu akan menentukan masa depan Fiji. ”Stabilitas politik perlu agar ekonomi dapat tumbuh demi peningkatan standard kehidupan dan Fiji menuju demokrasi seutuhnya,” ujarnya.
Sorotan
Demokrasi Fiji disorot karena sejumlah kudeta di negara Pasifik Selatan itu. Sebelum menggelar pemilu pada 2014, Bainimarama dituding sebagai diktator oleh banyak negara. Tudingan itu perlahan surut setelah Pemilu 2014 digelar.
Bahkan, aktivitas internasionalnya membuat Bainimarama dikenal sebagai salah seorang yang gigih memperjuangkan penanggulangan dampak perubahan iklim. Fiji amat berkepentingan dengan hal itu. Salah satu dampak perubahan iklim adalah kenaikan air laut yang dapat mengancam negara kepulauan seperti Fiji.
Dalam rangkaian kampanye 2018, Bainimarama berulang kali berjanji menghentikan siklus kudeta. Berbagai kudeta antara 1987 dan 2006 telah menggulingkan empat pemerintahan.
Amnesty International menuding Bainimarama belum memulihkan kebebasan penuh di Fiji. Sejumlah kebebasan sebelum kudeta 2006 belum dikembalikan sampai sekarang. Lembaga itu menyoroti kekerasan oleh polisi, pengekangan pers, dan hak berkumpul. Selain itu, ada pula tekanan dan persekusi terhadap pembela HAM.
”Sejak Pemilu 2014, HAM di Fiji terus tertekan,” demikian pernyataan Amnesty International menjelang Pemilu 2018.
Bagi pendukung Fiji First, kemenangan partai itu diharapkan bisa mempertahankan kesetaraan untuk seluruh warga. Isu kesetaraan menjadi perhatian. Partai Sodelpa berulang kali menyinggung prioritas penduduk asli. Kampanye itu mengkhawatirkan keturunan imigran di Fiji. Keturunan imigran India paling banyak di Fiji.
Sementara bagi Indonesia, Bainamarama dan Rabuka mempunyaai posisi berbeda. Di bawah Bainimarama, Fiji mempromosikan keanggotaan Indonesia di Organisasi Bangsa Melanesia (MSG), penduduk asli di sejumlah negara Pasifik Selatan.
Sebaliknya, para petinggi Sodelpa menentang keanggotaan Indonesia di MSG. Meski 11 juta dari sedikitnya 20 juta bangsa Melanesia tinggal di Indonesia, sebagian anggota MSG tetap menganggap Indonesia tidak layak jadi anggota MSG. (AFP/AP/ATO)