JAKARTA, KOMPAS — PT Bukit Asam Tbk kian dekat dengan realisasi gasifikasi batubara sebagai usaha menaikkan nilai tambah batubara. Perusahaan tersebut menggandeng perusahaan asal Amerika Serikat, Air Products and Chemical Inc, untuk membangun industri gasifikasi batubara di Indonesia. Produk gasifikasi tersebut dapat mengurangi impor elpiji oleh PT Pertamina (Persero).
Dalam paparan kinerja triwulan III-2018, Rabu (14/11/2018), di Jakarta, Direktur Utama PT Bukit Asam Tbk Arviyan Arifin mengatakan, nota kerja sama dengan Air Products and Chemical Inc sudah ditandatangani Bukit Asam bersama Pertamina. Ia menyebut perusahaan Amerika itu menguasai teknologi gasifikasi batubara yang nantinya akan dimanfaatkan Bukit Asam. Kerja sama berikutnya adalah soal pembentukan perusahaan bersama (joint venture).
”Proyek ini nanti akan menghasilkan produk dimetileter yang menjadi bahan baku utama elpiji. Sebab, dari 7 juta ton kebutuhan elpiji di Indonesia setiap tahun, sekitar 70 persen mesti diimpor. Apabila proyek ini berjalan, impor bisa dikurangi,” kata Arviyan.
Proyek tersebut, lanjut Arviyan, memiliki prospek yang positif mengingat cadangan batubara Bukit Asam melimpah, yaitu 3,3 miliar ton. Adapun peran Pertamina dalam proyek gasifikasi batubara ini adalah sebagai pembeli produk (off taker). Diperkirakan pada 2022 proyek ini bisa beroperasi secara komersial.
”Rencana lokasi ada di Peranap (Kabupaten Indragiri Hulu, Riau). Adapun mengenai kapasitas dan nilai investasinya masih dalam kajian kami,” ujar Arviyan.
Proyek gasifikasi batubara adalah salah satu dari beberapa proyek pengembangan batubara Bukit Asam. Proyek lain berupa pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di mulut tambang, seperti PLTU Sumatera Selatan 8 berkapasitas 2 x 620 megawatt serta pembangunan pembangkit listrik tenaga surya di bandara yang dikelola PT Angkasa Pura II (Persero). Bukit Asam juga menggandeng PT Kereta Api Indonesia (Persero) untuk mengembangkan angkutan batubara berkapasitas 60 juta ton per tahun pada 2023.
Laba bersih naik
Bukit Asam mencatatkan perolehan laba bersih sampai triwulan III-2018 sebesar Rp 3,93 triliun atau naik dibandingkan dengan triwulan III-2017 yang sebesar Rp 2,63 triliun. Peningkatan produksi sebesar 16,4 persen menjadi 19,68 juta ton sampai triwulan III-2018 menjadi penyebab meningkatnya perolehan laba bersih perusahaan. Selain itu, harga batubara tengah naik 13 persen menjadi Rp 841.655 per ton.
Direktur Niaga Bukit Asam Adib Ubaidillah menambahkan, pihaknya sedang memperluas pangsa pasar ekspor batubara mulai tahun depan. Beberapa negara tujuan baru penjualan batubara adalah Hong Kong, Korea, Vietnam, dan Bangladesh. Sejauh ini, China adalah negara tujuan utama penjualan batubara Bukit Asam.
”Kami sudah mengikuti tender penjualan batubara tahun depan di sejumlah negara tujuan baru. Ini adalah usaha perusahaan memperluas pemasaran,” ucap Adib.
Dalam rapat dengar pendapat Komisi VII DPR dengan Kementerian ESDM dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) beberapa waktu lalu di Jakarta terungkap bahwa hilirisasi batubara dalam bentuk gas dan cair tidak ekonomis. Besarnya ongkos investasi hilirisasi menyebabkan program tersebut belum berkembang ke tahap komersial. Sumber energi lain yang diharapkan dapat mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak terletak pada biodiesel dan gas bumi.
Hilirisasi batubara saat ini sulit bersaing dengan minyak.
Hilirisasi batubara, menurut Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono, terbagi menjadi lima jenis, yaitu peningkatan kadar kalori batubara, briket, kokas, gasifikasi, dan pencairan batubara. Namun, dari kelima jenis hilirisasi itu, hanya briket yang telah berhasil dikembangkan secara komersial kendati produksinya belum besar. Keempat program hilirisasi lainnya masih dalam tahap proyek percontohan dan belum sampai pada tahap komersial.
Kepala BPPT Unggul Priyanto membenarkan bahwa hilirisasi batubara saat ini sulit bersaing dengan minyak. Ia mencontohkan program pencairan batubara untuk menghasilkan 50.000 barel setara minyak per hari membutuhkan investasi sedikitnya Rp 50 triliun. Selain itu, harga dari pencairan batubara jauh lebih mahal dibandingkan harga minyak mentah saat ini.