KPK dalam Gelombang Kekuasaan
Mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi menjadi salah satu visi-misi yang ditawarkan kedua pasangan calon presiden-calon wakil presiden. Namun, ada tantangan besar untuk merealisasikannya.
Upaya pemberantasan korupsi selalu berada di jalan sunyi. Ingar-bingar dan gaung semangat melawan korupsi hanya terdengar saat pesta demokrasi lima tahunan digelar. Janji manis untuk terus melawan korupsi dan penguatan lembaga antikorupsi selalu dicantumkan dalam daftar utama program dan visi-misi para calon presiden-calon wakil presiden maupun partai politik pendukungnya saat kampanye. Akan tetapi, sulit berusaha menepati janji di tengah praktik politik yang sangat pragmatis.
Kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang mengusung Nawacita sempat menyalakan asa pemberantasan korupsi. Namun, kenyataannya, di setiap periode, termasuk sepanjang empat tahun pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi terus-menerus menghadapi gangguan dari kekuatan politik yang ada.
”Gangguan” terhadap KPK tidak hanya dalam bentuk upaya merevisi undang-undang yang menjadi landasan keberadaan dan kerja lembaga ini, tetapi juga melalui upaya uji materi terhadap pasal yang dianggap krusial, bahkan hingga melalui pengguliran hak angket terhadap KPK. Semua fraksi partai politik di DPR, yang akan kembali maju di Pemilu 2019, tercatat pernah berperan mengganggu keberadaan lembaga antikorupsi ini.
Menariknya, upaya ini masif terjadi bertepatan dengan langkah KPK menangani sejumlah perkara yang menjerat tokoh penting partai atau pejabat penting suatu lembaga negara. Salah satunya, bergulirnya hak angket tidak bisa dilepaskan dari berjalannya penanganan perkara megaproyek pengadaan kartu tanda penduduk elektronik yang belakangan menyeret Ketua DPR saat itu, Setya Novanto, yang juga pemimpin tertinggi Partai Golkar.
Pada April 2017, sebanyak 26 anggota DPR dari sembilan fraksi di DPR mengusulkan hak angket terhadap KPK. Tidak hanya partai propemerintah, anggota dari Fraksi Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional, dan Partai Keadilan Sejahtera, yang kini menjadi fraksi pendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, ikut menjadi pengusul.
DPR menggunakan hak angket untuk mendorong KPK membuka rekaman pemeriksaan politisi Partai Hanura, Miryam S Haryani, dalam perkara korupsi KTP elektronik. KPK saat itu menolak membuka rekaman Miryam yang mengaku ditekan sejumlah politisi DPR karena menganggap bisa menghambat pengungkapan kasus.
Revisi undang-undang
Adapun sepanjang pemerintahan Jokowi-Kalla, Kompas mencatat, revisi UU KPK muncul di setiap tahun persidangan DPR periode 2014-2019. Pada 2015, RUU itu diusulkan masuk Program Legislasi Nasional oleh 45 anggota DPR dari enam fraksi. Keenam fraksi itu adalah fraksi partai pendukung Joko Widodo-Ma’ruf Amin saat ini, yaitu Fraksi PDI Perjuangan, Nasdem, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Hanura, dan Partai Kebangkitan Bangsa.
Saat itu, revisi UU KPK ditengarai menjadi poin barter terkait seleksi calon pimpinan KPK yang sempat lama diproses DPR. Rencana revisi itu akhirnya batal dibahas.
Satu tahun sesudahnya, pada 2016, revisi UU KPK kembali diusulkan masuk ke dalam Prolegnas 2016. Kali ini, usulan revisi ini diduga sebagai ”tukar guling” dengan RUU Pengampunan Pajak, yang sangat dibutuhkan pemerintah untuk meningkatkan pemasukan negara dari sektor pajak. Revisi itu akhirnya juga disepakati ditunda.
Substansinya sendiri dari tahun ke tahun tak jauh berbeda dan cenderung menggerus kewenangan KPK. Misalnya, pembatasan usia KPK dengan dalih lembaga ini bersifat ad hoc, wewenang penyadapan KPK harus melalui izin dewan pengawas, pemberian kewenangan KPK mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan, serta penyidik KPK diperbantukan dari Kepolisian Negara RI, kejaksaan, dan penyidik pegawai negeri sipil.
Begitu pula sepanjang masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono pada 2004-2014, Partai Demokrat yang dipimpinnya bersama fraksi lain juga getol mengusulkan revisi UU KPK. Saat itu, Demokrat tengah menghadapi sejumlah persoalan, terutama karena sejumlah pejabat penting di lingkungan partainya terjerat kasus korupsi megaproyek pembangunan wisma atlet di Hambalang.
Tantangan
Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar menyampaikan, implementasi semangat antikorupsi yang dicantumkan dalam visi-misi pasangan calon presiden-calon wakil presiden saat terpilih menjadi penting. Sebab, umumnya, revisi UU KPK justru bermula dari partai koalisi pemerintah.
”Ini tantangannya. Selama ini, Jokowi, misalnya, meski kemudian tidak sepakat dengan revisi UU KPK, hanya menjadi semacam pemadam kebakaran di ujung. Semestinya hal seperti ini bisa dituntaskan di partai koalisinya,” kata Zainal.
Berbeda dengan Prabowo yang wujud sikap dukungannya terhadap pemberantasan korupsi bisa dilihat dari tindakan partainya di DPR. Gerindra yang ikut serta menjadi salah satu partai pengusul angket, misalnya, menjadi catatan tersendiri keseriusan Prabowo dalam memberantas korupsi.
”Dia, kan, ketua partai, semestinya bisa langsung menginstruksikan penolakan sebagai bentuk nyata. Sebab, kalau sekadar menjanjikan upaya pemberantasan korupsi, semua calon juga akan seperti itu,” ujar Zainal.
Ia pun menduga kegamangan dua sosok yang kini kembali bertarung dalam pemilihan presiden diakibatkan tertawan pada koalisi partai politik. Kekhawatiran kehilangan dukungan dari partai politik membuat mereka tak bisa berbuat banyak saat berupaya mempertajam pemberantasan korupsi. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari kegagalan partai politik berbenah.
Secara terpisah, mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas juga mengingatkan para calon presiden dan calon wakil presiden untuk bebas beban politik dari pihak pengusaha yang tidak memiliki komitmen kejujuran dan kerakyatan.
”Bagaimana calon presiden bisa diandalkan komitmen pemberantasan korupsi jika tim suksesnya akrab dengan bisnis berbasis suap? Capres seharusnya ekstra hati-hati dalam konteks ini. Capres terpilih juga harus berani dan ada visi serta komitmen untuk mengevaluasi program hulu untuk diorientasikan pada komitmen kerakyatan dan bebas fraud,” tutur Busyro.
Layaknya Wibisana yang memilih melawan Rahwana karena panggilan membela kebenaran dan keadilan, negeri ini juga butuh seorang pemimpin yang rela menempuh jalan sunyi demi Indonesia bebas dari korupsi.