Parlemen AS Desak Trump Jatuhkan Sanksi pada China
Oleh
MYRNA RATNA
·3 menit baca
WASHINGTON, RABU — Para anggota parlemen Amerika Serikat, Rabu (14/11/2018), mengajukan rancangan undang-undang yang mendesak Presiden Donald Trump untuk bersikap lebih keras terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan Pemerintah China terhadap etnis minoritas Muslim Uighur di Provinsi Xinjiang, wilayah barat China.
RUU itu juga akan meminta Trump untuk mengecam kebijakan China di Xinjiang dan mendesak penunjukan ”koordinator khusus” untuk kebijakan AS terkait isu tersebut. RUU itu juga meminta pemerintah mempertimbangkan larangan ekspor teknologi AS ke China yang bisa digunakan Beijing untuk memata-matai dan melakukan penahanan massal warga etnis Uighur.
Bukan hanya itu, anggota parlemen juga meminta Trump mempertimbangkan sanksi terhadap Sekretaris Jenderal Partai Xinjiang, Chen Quanguo, yang merupakan anggota politbiro, dan menahan sejumlah pejabat lainnya yang diduga terkait dengan kebijakan terhadap etnis Uighur.
”Para pejabat Pemerintah China harus bertanggung jawab atas keterlibatan mereka dalam kejahatan ini dan pebisnis AS harus dilarang membantu China menciptakan ’negara polisi’ (negara yang sangat kuat mengawasi aktivitas rakyatnya) berteknologi tinggi di Xinjiang,” kata Senator Partai Republik Marco Rubio dan Senator Demokrat Bob Menendez.
Rubio dalam pernyataannya menyebutkan, Pemerintah China bertanggung jawab atas ”kemungkinan kejahatan terhadap kemanusiaan”. Sejumlah pejabat senior di pemerintahan Trump juga semakin vokal menyuarakan kecaman pada kebijakan China terhadap etnis Muslim di Xinjiang yang telah menuai kecaman dunia.
Namun, Beijing menolak tuduhan itu dan mendesak Washington dan negara-negara lainnya untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri China. Ketika ditanya wartawan apakah Beijing akan mengizinkan pengamat internasional untuk datang ke Xinjiang, seorang pejabat China menyatakan, dunia harus mengabaikan ”gosip” tentang Xinjiang dan memercayai otoritas di sana.
Sejumlah negara Barat, seperti Kanada, Perancis, Jerman, dan AS, telah mendesak China untuk menutup kamp di Xinjiang, yang menurut laporan sejumlah aktivis, telah dijadikan tahanan bagi sekitar 1 juta warga Uighur dan warga Muslim lainnya. Etnis minoritas ini ditahan untuk ”pelanggaran”, seperti memelihara jenggot dan memakai cadar.
Intervensi
Juru bicara Departemen Luar Negeri China, Hua Chunying, menyebutkan, AS dan parlemennya tak memiliki hak untuk mencampuri urusan negara lain, apalagi AS juga memiliki persoalan rasial.
”Sangat mengherankan, mereka selalu abai dengan sejumlah persoalan yang ada di negerinya, tetapi bersemangat sekali mencampuri urusan dalam negeri negara lain. Apalagi hal itu didasarkan informasi yang salah dan prasangka ideologis,” kata Hua.
Dalam kesempatan itu, Hua juga membeberkan statistik tentang ketimpangan keadilan yang dihadapi kelompok kulit hitam dibandingkan dengan kelompok kulit putih, khususnya dalam ketimpangan ekonomi. ”Saya harap parlemen AS lebih sedikit peduli terhadap urusan dalam negeri mereka dan melakukan pekerjaannya dengan lebih baik,” katanya.
Pekan lalu, Pemerintah China juga harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan tajam mengenai kamp Uighur di Dewan HAM di Geneva, Swiss, dalam sesi Tinjauan Periodik Universal, di mana 193 negara ditinjau perkembangan HAM di negaranya.
”Kami khawatir dengan tindakan Pemerintah China yang melakukan pemberangusan terhadap etnis Uighur, Kazakh, dan Muslim lainnya di wilayah otonom Xinjiang. Washington menginginkan China menghapus seluruh penahanan sewenang-wenang, termasuk kamp penahanan di Xinjiang dan membebaskan ratusan ribu, bahkan jutaan orang yang ditahan di kamp-kamp ini,” kata perwakilan AS, Mark Cassayre, kepada Dewan HAM. (AFP/REUTERS)