SAMARINDA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan ada potensi kerugian negara sekitar Rp 1,3 triliun per tahun terkait adanya perbedaan data perdagangan ekspor batubara dari kementerian terkait. Kerugian negara dihitung dari kewajiban royalti dari perusahaan yang tidak dibayarkan ke negara.
Berdasarkan pengamatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama beberapa tahun terakhir, terdapat perbedaan data perdagangan batubara antara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
”Potensi kerugian negara dari perbedaan data itu kalau di KPK kami menemukan sekitar Rp 1,3 triliun per tahun,” ujar Ketua KPK Agus Rahardjo ketika ditemui di Dermaga Distrik Navigasi Samarinda, Kalimantan Timur, Kamis (15/11/2018). Bersama tim KPK, Agus melakukan pemantauan di muara Sungai Mahakam, kawasan Muara Pegah, Kabupaten Kutai Kartanegara.
Muara Pegah menghubungkan Sungai Mahakam ke laut lepas menuju Selat Makassar. KPK memantau aktivitas di Muara Pegah untuk menilik penyebab perbedaan data perdagangan batubara. Dalam pemantauan itu, KPK mengajak perwakilan dari Kementerian ESDM, Kementerian Perdagangan, Ditjen Bea dan Cukai, Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, serta Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur.
Agus mengakui, dari penelusuran itu, pihaknya mendapati adanya dermaga pengangkutan batubara (jetty) yang letaknya berdekatan dan ketika dicek tidak terkait dengan perusahaan tambang. ”Jangan-jangan ini menampung batubara yang ilegal. (Memang) perlu penelitian lebih lanjut,” katanya.
Pada tahun 2013, tim penelitian dan pengembangan KPK telah melaporkan terdapat kerugian negara sebesar Rp 1,2 triliun akibat tidak dibayarkannya kewajiban royalti penambangan kepada negara. Temuan ini berlanjut pada tahun-tahun berikutnya yang menyebutkan adanya potensi kerugian negara Rp 1,3 triliun akibat adanya kebocoran penerimaan negara tersebut.
Potensi kebocoran penerimaan negara untuk ekspor batubara diduga sejak penghitungan volume dan kadar kalori batubara yang hendak diekspor oleh surveyor. Padahal, surveyor dibayar perusahaan batubara.
Hasil verifikasi surveyor diserahkan kepada Kementerian Perdagangan. Namun, tidak ada upaya untuk menyinkronkan data tersebut oleh kementerian lain yang terkait. ”Tidak terjadi rekonsiliasi data. Ini ke depan yang harus kita benahi,” ucap Agus.
Ia menambahkan, temuan KPK ini tidak jauh berbeda dengan hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyebutkan adanya indikasi kerugian negara sebesar Rp 133,6 triliun selama 10 tahun.
”Dari perbedaan data itu, kemungkinan untuk perbedaan pendapatan negara cukup signifikan. (Ke depan) kita segera membuat peraturan agar kemudian segera diimplementasikan pada 2,5 hingga 3 bulan yang akan datang,” kata Agus.
Sebelumnya, berdasarkan penelusuran tim ICW selama periode 2006-2016, terdapat indikasi transaksi ekspor batubara yang tidak dilaporkan senilai Rp 365,2 triliun. Firdaus Ilyas, Koordinator Riset ICW, mengungkapkan, kondisi itu menyebabkan adanya indikasi kerugian negara Rp 133,6 triliun dari kewajiban pajak penghasilan dan royalti perusahaan yang tidak dibayarkan ke negara.
Setelah mengikuti pantauan tersebut, Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Agus Purnomo menyatakan akan menginventarisasi pelabuhan yang digunakan untuk memuat batubara, mendata kapal tongkang dan kapal pandu yang mengangkut batubara, serta memeriksa izin dari kapal pengangkut batubara yang melintasi Sungai Mahakam menuju laut.
Namun, Agus menyangkal jika selama ini terjadi pungutan liar terhadap kapal pengangkut batubara yang membuat kapal-kapal tersebut leluasa melintasi Sungai Mahakam tanpa adanya pengawasan.
Kepala Dinas ESDM Kaltim Wahyu Widhi Heranata mengakui adanya indikasi kebocoran penerimaan negara akibat perdagangan batubara yang melintasi Sungai Mahakam sesuai dengan laporan KPK, terutama terkait keberadaan dermaga pengangkutan batubara (jetty) di Sungai Mahakam.
Di Kaltim, setidaknya potensi kerugian negara 20-25 persen dari Rp 1,3 triliun. ”Selama ini banyak los karena tidak terawasi. Tidak ada sistem yang mengatur,” ucap Wahyu Widhi.
Secara terpisah, Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Kementerian ESDM Sri Raharjo tidak menyangkal temuan ICW yang menyebutkan adanya indikasi kerugian negara terkait ekspor batubara. Laporan itu semestinya dapat mendorong perbaikan tata kelola batubara di Indonesia.
”Itu mungkin mencerminkan gambaran sebenarnya. Saya kira, bagus untuk mendorong perbaikan tata kelola,” ujar Sri saat ditemui di Jakarta.
Menurut Sri, Kementerian ESDM telah melakukan sejumlah upaya pengawasan melalui program MOMS Minerba yang mewajibkan semua perusahaan melaporkan jumlah produksi dan pemasaran secara harian. ”Kita minta sistem (perusahaan) juga masuk ke ESDM agar laporan itu real time,” ucap Sri.