Raksasa Baru Teknologi Bernama Netflix
Sekitar 21 tahun yang lalu, Netflix hanya sebuah perusahaan penyewaan digital video disc (DVD) yang mengirimkan filmnya lewat pesan dalam jaringan (daring). Perlahan mereka merambah siaran film daring. Lalu, boom... dalam sekejap mereka berubah menjadi perusahaan raksasa teknologi di dunia.
CEO sekaligus penemu Netflix, Reed Hastings, mengatakan, dahulu saat masih menyewakan DVD, ia dan timnya harus membeli ratusan judul film untuk melengkapi keinginan pengguna, baik film lawas maupun film yang sedang ngetren saat itu.
”Saat kami memulai bisnis ini, internet tidak secepat sekarang. Kami harus membeli ratusan judul film untuk kemudian disewakan. Saat itu kami memulainya dengan mengirim via e-mail (surat elektronik),” ujar Hastings seperti dilaporkan wartawan Kompas, Dionisius Reynaldo Triwibowo, dari Singapura.
Reed Hastings menjadi pembicara yang ditunggu-tunggu banyak orang dalam acara Netflix Slate Asia yang diselenggarakan dua hari, Kamis-Jumat (8-9/11/2018), di Singapura. Acara itu bertema ”See What’s Next: Asia” di Marina Bay Sands Expo and Convention Centre.
Tak hanya Hastings, acara itu diikuti dua petinggi Netflix lainnya, Ted Sarandos dan Todd Yellin. Hadir pula beberapa bintang film orisinal Netflix, baik di Asia maupun internasional, sekaligus undangan yang diisi oleh wartawan dari 200 media di Asia juga influencer, seperti selebgram, bloger, atau pembuat konten daring Asia.
”Saat orang mulai gemar menonton lewat laptop atau TV layar datar di rumah, saat itulah bisnis seperti ini kami kembangkan. Kehadiran internet mengubah segalanya, termasuk cara dan keinginan orang menikmati konten film,” ujar Hastings.
Hastings dibantu dua rekannya, yakni Ted Sarandos yang mengurusi konten film dan Todd Yellin yang menjadi tulang punggung produk Netflix. Tiga sekawan ini kemudian membangun Netflix menjadi penyedia film pertama di dunia dengan konsep streaming.
Hastings mempertaruhkan segalanya pada konten film orisinal. Netflix sudah menghabiskan 13 miliar dollar AS untuk membuat film dan serial orisinal. Dengan dana itu, sudah ada 82 judul film dan serial yang dibuat dalam satu tahun. Jumlah itu lebih banyak dibandingkan perusahaan film seperti Warner Brothers yang hanya membuat 23 film dalam setahun.
Tak diragukan lagi, dengan jumlah film sebanyak itu, betapa Netflix memanjakan 138 juta penggunanya yang tersebar di 190 negara. Film ekslusif yang hanya bisa ditonton di aplikasi itu.
Penetrasi ke Asia
Tahun 2019, Netflix membuat 17 film dan serial konten Asia. Sebelumnya, film Indonesia, The Night Comes for Us, sudah tayang dan mendapat respons positif dari Netflix. Film yang diperankan oleh Iko Uwais, Joe Taslim, Dian Sastro, dan artis Indonesia lainnya itu nongkrong di aplikasi Netflix dan ditonton jutaan orang.
Chief Content Officer Netflix Ted Sarandos mengungkapkan, lebih dari separuh konten Asia di Netflix ditonton oleh pelanggan di luar Asia. Apalagi, dengan fitur terjemahan 20 bahasa membuat pelanggan lebih mudah menikmati film.
”Kami percaya bahwa produksi Asia selanjutnya akan mendapatkan penggemar di Asia dan kawasan lainnya,” kata Sarandos.
Tak hanya kemudahan bahasa, Netflix menolak semua iklan yang mau berinvestasi di perusahaannya. Mereka tidak mau ketika penonton sedang menyaksikan film kesayangannya tiba-tiba ditutup iklan.
Personalisasi
Selain kekuatan konten, dari sisi teknologi Netflix bisa dibilang paling atas dibandingkan aplikasi daring lainnya. Kekuatannya ada pada algoritma personalisasi, yang membuat penonton semakin dekat dengan aplikasi itu.
Algoritma personalisasi memungkinkan tiap orang menonton film yang sama di empat gawai berbeda. Selain itu, sekali mengunggah aplikasi ini, tiap pengguna bisa menggunakan lima profil agar Netflix bisa lebih memahami penontonnya.
Tiap profil akan dilengkapi dengan rekomendasi film yang ingin ditonton. Di situ penonton akan benar-benar memahami kalau ternyata karakter manusia bisa dilihat dari genre film favoritnya.
”Saya dan istri saya sudah belasan tahun hidup bersama, tetapi jenis film yang kami tonton sangat berbeda. Ia menyukai drama, kisah percintaan, saya menyukai film horor, fiksi sains. Tetapi pada profil kami memiliki satu film komedi dengan judul yang sama,” ujar Chief Product Officer Netflix Todd Yellin.
Yellin mengungkapkan, ia dan timnya sudah keliling dunia dan melakukan beberapa riset tentang perilaku dan keinginan orang menonton film. Riset itu dilakukan dengan meminta sejumlah orang menonton film sesuai gayanya.
Ada yang menonton di layar kecil pada telepon genggam, ada yang menonton dari layar besar, dan banyak lagi. Dari situ saja, menurut Yellin, Netflix sudah bisa mengetahui kalau ada orang yang lebih suka pada isi cerita dari film, ada juga yang menginginkan detil film.
Penghasilan besar
Tanpa iklan, semua keuntungan Netflix diambil dari pengguna. Untuk berlangganan, sedikitnya pengguna mengeluarkan 10 dollar AS atau lebih kurang Rp 150.000 per bulan. Artinya, dalam setahun mereka bisa mendapatkan sekitar 14 miliar dollar AS per tahun. Jumlah itu belum dari penghasilan share data dan aliran streaming.
Sayangnya, Netflix tidak pernah membuka berapa jumlah viewers di Asia atau di belahan dunia mana pun. Atau berapa jumlah orang yang mengklik film-film di Netflix dengan alasan untuk internal.
The Economist pernah mencatat, kebesaran Netflix tak terganggu dengan aneka isu yang tengah hangat di dunia industri informasi: tak ada urusan dengan hoaks, tidak ada urusan dengan memanipulasi pemilih dalam pemilu, ataupun terkait dengan tribalisme politik, walaupun hal yang terkait dengan penyalahgunaan data pribadi untuk kepentingan penjualan data menjadi salah satu yang tetap perlu dipertimbangkan. Hal ini terjadi karena Netflix urusannya adalah soal hiburan, hiburan, dan hiburan semata (Kompas, 26 Juli 2018).
”Berbagi cerita lewat film artinya juga membagi kebahagiaan, harapan, dan aspirasi. Bukankah itu semua yang kita cari saat menonton sebuah film?” ujar Hastings.