Telepon Kantor Wapres yang Tak Pernah Berbunyi
Perubahan teknologi tak bisa ditahan. Perubahan ini membuat komunikasi juga tak sama seperti dulu. Semua orang menggunakan telepon pintar di mana-mana. Telepon rumah konvensional semakin ditinggalkan.
Wakil Presiden Jusuf Kalla membuat peserta Economic Outlook di salah satu hotel di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, Kamis (15/11/2018), tergelak. Sebab, Kalla bercerita, sepanjang empat tahun bekerja di Kantor Wapres, belum pernah telepon di mejanya berbunyi.
”Belum pernah. Di tiap kantor, ada lagi telepon antisadap. Tapi tak pernah dipakai juga. Tetap saja pakai HP masing-masing yang mudah disadap. Tidak peduli. Jadi, teknologi tidak bisa dihalangi. Pasti akan terjadi perubahan-perubahan yang mendasar. Yang penting, bagaimana kita menghadapinya,” tutur Kalla dalam seminar bertema ”Meningkatkan Daya Saing Indonesia dengan Revolusi Industri 4.0”.
Perubahan pada model komunikasi ini juga mengubah jenis-jenis pekerjaan. Jika dulu pengiriman berita dilakukan dengan telegram, lalu telepon, kemudian faksimile, dan disusul telex serta e-mail dan Whatsapp. Kini, tak terlalu banyak pula yang memerlukan operator di kantor atau sekretaris yang menerimakan telepon untuk bosnya. ”Langsung kita telepon saja yang bersangkutan dengan HP kita semuanya,” seloroh JK lagi.
Perubahan pesat ini sekaligus menggeser beberapa pola dalam ekonomi. Terjadi revolusi industri keempat yang mendorong pula apa yang disebut Kalla sebagai revolusi entrepreneur sebagai perubahan gaya dan sistem entrepreneurship. Seorang petani bawang di Palu, misalnya, bisa menjual bawangnya ke seantero Indonesia atau ke negara lain dengan gawainya.
Hal ini terjadi karena revolusi industri 4.0 mengombinasikan teknologi IT, biotech menjadi suatu industri yang lebih cepat, lebih efisien, dan menjawab mahalnya tenaga kerja. Otomasi dan robotik menjadi jawaban.
Namun, menurut Kalla, akibat teknologi pula, timbul dominasi dari Facebook, Twitter, Google, atau Microsoft melampaui industri fisik yang sebelumnya sangat kuat.
Kendati demikian, Kalla meyakini otomasi dan robotik tak akan berjalan sama dan merata di semua negara, tetapi tergantung dari kondisi negara masing-masing. Jepang, misalnya, sangat membutuhkan karena terlambat mengelola imigran, berbeda dengan negara-negara Eropa yang lebih mampu mengatasi penuaan struktur penduduk dengan imigrannya.
Di sisi lain, kata Kalla, di Indonesia otomasi dan robotik lebih lambat. Sebab, jika semua dilakukan dengan otomasi dan robotik, tak ada pekerja, tak ada penghasilan yang diperoleh pekerja, dan akhirnya tak ada pula yang akan menjadi konsumen. Biaya otomasi di Indonesia pun diperkirakan masih lebih mahal jika dibandingkan dengan gaji pegawai. Namun, otomasi beberapa bagian proses produksi diakui akan mengubah beberapa jenis pekerjaan.
Pemahaman akan teknologi sangat diperlukan oleh siapa pun. Kalla pun mengakui pernah membuat keputusan yang tak terlampau tepat karena kurang percaya dengan teknologi. Dua puluh tahun lalu, dia menandatangani kerja sama operasi untuk membangun jaringan telepon di Indonesia timur. Kendati semua jaringan telepon terselenggara, hal ini sekarang mulai ditinggalkan.
Ini, menurut Kalla, akibat kurang percaya dengan prediksi seorang profesor dari Amerika Serikat yang mengatakan, suatu saat, semua transaksi akan ada di saku. Kenyataannya sekarang, membeli sepatu, mi, martabak, atau apa pun dilakukan dari telepon pintar di saku. Sebaliknya, telepon konvensional yang biasa ada di meja semakin ditinggalkan.
Namun, Indonesia saat ini masih berada di revolusi industri kesatu, kedua, ketiga, dan keempat sekaligus. Kalla mencontohkan, di sektor pertanian, misalnya, apa yang dilakukan di Inggris 300 tahun lalu masih saja dikerjakan seperti mencangkul secara manual.
Dalam diskusi panel dengan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri, pengamat ekonomi Faisal Basri, dan pelaku usaha teknologi Arya Damar itu, Airlangga dan Hanif menyampaikan beberapa langkah yang dilakukan pemerintah untuk menghadapi revolusi industri 4.0.
Peluncuran making indonesia 4.0, menurut Airlangga, menargetkan Indonesia menjadi sepuluh besar negara ekonomi terkuat pada 2030. Karena itu, produk digital dan inovasi terus dikuatkan. Saat ini, produk inovasi baru menyumbang kurang dari 0,4 persen dan diharapkan bisa meningkat sampai 2 persen.
Beberapa kebijakan disiapkan untuk mewujudkan Indonesia 4.0 seperti memastikan alur bahan baku, meredesain kawasan-kawasan industri terutama untuk jaringan komunikasinya, keberlanjutan atau circular economy, inklusivitas keuangan, serta investasi dan sumber daya manusia.
Di sisi lain, lanjut Hanif, perlu perubahan dalam pendataan pekerjaan. Sebab, ada saja warga yang berpenghasilan tinggi, tetapi dianggap pengangguran oleh warga sekitarnya. Hanif mencontohkan temannya di Ponorogo yang lulusan SMA dan setiap hari berkeliling membuat video berbagai rumah produksi di wilayahnya. Penghasilan teman itu berkisar Rp 25 juta-Rp 30 juta per bulan, tetapi di mata tetangganya, orang tersebut adalah pengangguran.
Masalah dalam menghadapi revolusi industri 4.0 ini, menurut Hanif, pada ekosistem sumber daya manusia (SDM) yang belum siap. Dari sekitar 2 juta lulusan perguruan tinggi, misalnya, terjadi missmatch (ketidaksesuaian) dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. Hanya 30-40 persen yang sesuai. Selain itu, ada pula produk perguruan tinggi yang dinilai kurang kapasitas. Selain itu, setelah kerja, kerap kondisi ekonomi warga tetap miskin. PHK dan outsourcing juga menjadi ancaman. Padahal, untuk perusahaan pun, memberhentikan atau merekrut tenaga kerja tetap merupakan proses yang rumit.
Untuk mengatasi masalah kualitas SDM, Kementerian Ketenagakerjaan juga menyiapkan pemetaan atas pekerjaan-pekerjaan pada masa depan dalam peta jalan pekerjaan dalam 20-25 tahun ke depan. Keterampilan-keterampilan yang diperlukan di masa datang juga diproyeksikan. Adapun untuk vocational training, tak ada lagi syarat harus lulus SMA. Siapa saja bisa mengikutinya dengan tiga jenis pelatihan: memberi keterampilan (skilling), memperkuat keterampilan (up skilling), dan mengganti keterampilan (re-skilling).
Faisal lebih menyoroti pada dasar pola pikir pemerintah dalam menyikapi revolusi industri 4.0 yang kurang menyadari kondisi Indonesia ataupun karakter perubahan ini. Di Indonesia yang maritim, pembangunan jalan tol terlihat terlalu mendominasi. Adapun untuk revolusi industri 4.0 yang tak lagi bergantung pada lokasi fisik, pemerintah masih sibuk membangun kawasan industri atau kawasan ekonomi.
Untuk mengelola ketersediaan dan stabilitas harga pangan, Indonesia masih saja mengandalkan Bulog. Pemerintah, kata Faisal, bisa saja menyerahkan fungsi itu pada platform Blibli, misalnya, dan harga akan menjadi lebih seragam. ”Ini memakai pola 4.0. Kalau Bulog, pakai 0.0. Jadi, yang paling tidak siap (menghadapi revolusi industri 4.0, ya pemerintah),” ujar Faisal.