Tiga Seniman Asia Tampilkan Tafsir Hubungan Manusia dengan Masa Lalu
Oleh
ADHI KUSUMAPUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Seni yang menonjolkan sisi konsep atau conceptual art menjadi cara bagi tiga seniman Asia, Arahmaiani, Lee Mingwei, dan On Kawara, untuk menyampaikan kegelisahan antara hubungan manusia dan masa lalu. Mereka berusaha menampilkan tafsir masing-masing tentang sejarah dan hubungannya dengan ingatan manusia.
Hal itu disampaikan dalam konferensi pers di museum Modern and Contemporary Art in Nusantara (MACAN), Kamis (15/11/2018). Direktur Museum MACAN Aaron Seeto mengatakan, ketiga seniman tersebut mewakili pendekatan seni yang berbeda karena dipengaruhi oleh lingkungan masing-masing.
”Arahmaiani yang berasal dari Indonesia, Lee Mingwei dari Taiwan, dan On Kawara dari Jepang, semuanya mewakili latar belakang yang berbeda-beda. Selain karena lingkungan, karya mereka juga dipengaruhi konteks sejarah di masa lalu,” kata Seeto.
Pameran tersebut merupakan kumpulan sejumlah karya kurasi dari ketiga seniman yang telah ditampilkan selama beberapa tahun silam. Seperti Arahmaiani, dalam pameran bertajuk Masa Lalu Belumlah Berlalu, menampilkan paduan dari sekitar 70 karya seni yang telah diciptakan sejak tahun 1980-an. Lee Mingwei dalam pameran Tujuh Kisah juga menampilkan tujuh karya seni yang mengundang partisipasi pengunjung dalam karyanya.
”Selain itu, karya On Kawara berjudul One Million Years juga penting karena baru pertama kali ditampilkan di Indonesia,” imbuh Seeto.
Berdasarkan kunjungan Kompas, karya-karya Arahmaiani menunjukkan kegelisahan terhadap peperangan, kondisi alam yang memburuk, hingga tentang perempuan dan asal-usul manusia. Dalam kesempatan itu, Arahmaiani bercerita bahwa ada peristiwa sejarah yang ia alami dulu, seakan kembali terulang di zaman sekarang.
Ia mencontohkan, karyanya yang berjudul Linggayoni pada 1994 sempat dianggap menistakan agama karena menyandingkan aksara arab pegon dari bahasa Jawa dengan simbol kelamin manusia. Bentuk penistaan semacam itu, menurut dia, terus berulang hingga saat ini dalam bentuk yang lain.
”Saya berharap pengunjung dapat mengerti konteks sejarah dari karya seninya secara utuh agar tidak timbul kesalahpahaman,” kata Arahmaiani.
Dalam pameran ini, Arahmaiani menyertakan karya ”I Love You (After Joseph Beuys Social Sculpture)”, yang merespons terjadinya peristiwa 9/11 di Amerika tahun 2009. Karya itu menampilkan aksara Arab yang melafalkan I love you dalam bahasa Inggris, berukuran besar dan berbahan busa dakron untuk memunculkan makna kelembutan dari pemeluk agama Islam yang dikenal sebagai teroris saat itu.
Sementara itu, Lee Mingwe tampil dengan karyanya yang berusaha mendefinisi ulang makna hubungan antarmanusia. Baik dengan keluarga, kekasih, teman, atau bahkan dengan orang asing sekalipun.
Dalam salah satu karyanya, ”The Dining Project”, ia mengajak pengunjung untuk makan bersamanya dan membicarakan berbagai hal. Juga dalam karya lainnya, ”Sonic Blossom”, ia melibatkan penyanyi yang akan mengundang pengunjung untuk duduk di sebuah kursi dan menyajikan sebuah lagu khusus untuk orang tersebut.
Pada karya yang lain, Mingwei juga menyediakan ruangan kecil yang berisi meja, surat, dan kertas kosong. Karya yang berjudul ”The Writing Project” itu mengundang pengunjung untuk menuliskan pesan di dalam surat. Boleh ditujukan kepada siapa pun, baik mencantumkan alamat maupun tidak.
”Saya berusaha menyentuh emosi dari setiap pengunjung secara personal,” ungkap Mingwe.
Mengenalkan seni kontemporer
Seeto menilai geliat seni kontemporer semakin meningkat di kalangan generasi muda, terutama setelah ”Life is The Heart of a Rainbow” karya Yayoi Kusama dipamerkan pada Mei lalu. Ia mengatakan, selama setahun ini Museum MACAN didatangi 35.000 pengunjung, baik dari dalam maupun luar negeri.
Kedatangan karya dari tiga seniman tersebut merupakan upaya untuk mengenalkan bentuk seni kontemporer kepada kalangan yang lebih luas. Ia menjelaskan, apa yang akan didapat pengunjung saat pameran nanti mungkin akan sangat berbeda dengan pengalaman sebelumnya.
”Dengan adanya ketiga seniman ini, saya berharap pengunjung dapat merasakan momen kontemplasi serta memikirkan kembali hubungan mereka dengan sesama manusia. Seni tidak hanya untuk hiburan, tetapi juga untuk momen berkontemplasi,” ujar Seeto. (ADITYA DIVERANTA)