JAKARTA, KOMPAS — Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian atau BKP mengapresiasi langkah pemerintah mengganti metode perhitungan potensi produksi beras tahun 2018 menjadi 32,42 juta ton. Di tengah kendala terkait produksi beras, BKP berupaya menggenjot program diversifikasi pangan.
Kepala BKP Agung Hendriadi, Jumat (16/11/2018), mengatakan, penerapan metode perhitungan baru, yaitu kerangka sampel area, adalah langkah pemerintah yang patut dihargai. ”Masih ada kemungkinan bagi kami untuk melakukan proyeksi dan validasi potensi produksi beras,” kata Agung.
Pemerintah juga mengumumkan hasil penghitungan luas baku sawah pada 22 Oktober 2018. Jika pada 2013 luas baku sawah mencapai 7,75 juta hektar, pada 2018 luasan tersebut berkurang menjadi 7,1 juta hektar. Terkait dengan ini, Agung menyatakan, BKP akan melakukan validasi dan koreksi ulang.
Sejak awal tahun, jumlah lahan sawah terus berkurang. Pada Februari 2018, Agung mengatakan, laju konversi lahan sawah berkisar 100.000-110.000 hektar per tahun. Pemerintah meresponsnya dengan mencetak lahan sawah baru sebagai bagian upaya swasembada di sektor padi, jagung, dan kedelai (Kompas, 26 Februari 2018).
Pada saat bersamaan, tren konsumsi beras nasional terus meningkat. Kementerian Pertanian mencatat, pada 2017 konsumsi beras mencapai 114,6 kilogram per kapita, meningkat dari 101 kg per kapita pada 2016 dan 96,6 kg per kapita pada 2012. Secara bersamaan, tren konsumsi makanan pokok nonberas terus menurun.
Pangan lokal
Pengajar Departemen Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Umar Santoso mengatakan, tren penyusutan lahan sawah merupakan suatu kewajaran. Sebab, jumlah penduduk juga terus meningkat.
Umar menambahkan, produksi beras tetap harus digenjot karena masyarakat Indonesia tidak mungkin bisa lepas dari beras. Namun, diversifikasi pangan dengan memanfaatkan potensi bahan pangan lokal perlu dilakukan.
Terkait dengan hal tersebut, Agung menyatakan, masyarakat tidak perlu khawatir karena saat ini produksi beras nasional masih surplus 2,85 juta ton. Pihaknya juga telah menyiapkan program diversifikasi makanan sesuai potensi daerah. Sebab, bentuk pangan untuk menjaga ketahanan pangan tidak hanya beras.
”Daerah-daerah yang bukan penghasil beras sering kali mengalami kesulitan akses transportasi, seperti Maluku Utara yang bentuknya kepulauan. Maluku Utara juga punya potensi lain, seperti sagu, kenapa tidak kita kembangkan saja potensi tersebut?” kata Agung.
Kesulitan akses transportasi darat juga menjadi kendala peningkatan ketahanan, selayaknya di Kabupaten Asmat, Papua. Menurut Agung, tidak perlu menunggu pembuatan jalan untuk menjaga ketahanan pangan.
Kebijakan tersebut juga akan dilaksanakan dalam bentuk industrialisasi, yaitu Pengembangan Industri Pangan Lokal (PIPL) pada 2019. Program ini dibuat berdasarkan pemetaan yang telah dilaksanakan BKP. Agung berharap PIPL dapat berujung pada pemberlakuan pangan lokal sebagai bahan baku industri sebanyak 10 persen.
Direktur Distribusi dan Cadangan Pangan BKP Risfaheri menyatakan, mi yang dibuat dari campuran tepung sagu itu tidak akan berubah karakter dan rasanya. Hal tersebut menjadi pendorong pembentukan kebijakan pemberlakuan pangan lokal sebagai bahan baku.
Adapun proyek awal BKP saat ini adalah pengembangan tepung sagu, jagung, singkong, dan pisang. Saat ini BKP tengah menjalankan program pengembangan industri tepung jagung di Kabupaten Konawe dan Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Potensi tepung jagung kedua kabupaten mencapai 600.000 ton per tahun, tetapi saat ini produksinya masih di bawah 100.000 per tahun.
Ke depan, BKP juga berencana mengembangkan industri tepung jagung di Nusa Tenggara Timur dan tepung singkong di Lampung. Di samping itu, pihaknya juga akan mencari industri konsumen (off taker) produk-produk pangan dalam negeri itu, dengan harapan akan dibentuk industri-industri pangan yang dekat dengan lahan pengembangan tanaman pangan sebagai hulunya. (E03)