Banyak Rumah Sakit Belum Punya Tim Pengendalian Resistensi Antimikroba
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
DEPOK, KOMPAS—Banyak rumah sakit belum punya tim pengendalian resistensi antimikroba. Padahal, tim itu berperan melakukan surveilans, menganalisis pola kuman, dan mencegah resistensi antimikroba di rumah sakit demi keselamatan pasien.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 8 Tahun 2015 tentang Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA) di Rumah Sakit, tim PPRA bertugas membantu direktur rumah sakit. Tim itu membantu menetapkan kebijakan penggunaan antimikroba di RS, pengendalian resistensi antimikroba, surveilans pemakaian antimikroba, dan pola resistensi kuman.
”Belum separuh dari 2.800-an RS memiliki tim pelaksana PPRA. Bisa jadi karena RS itu belum tersosialisasi, belum paham pentingnya tim PPRA, belum terakreditasi, atau belum punya komponen diperlukan dalam tim PPRA,” kata Sekretaris Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Anis Karuniawati dalam temu media memperingati Pekan Kesadaran Antibiotik Dunia di RS Universitas Indonesia, Depok, Kamis (15/11/2018).
Untuk itu, Komite Akreditasi Rumah Sakit memasukkan komponen ada tim pelaksana PPRA sebagai syarat akreditasi RS. Pihak KPRA pun memberikan pelatihan resistensi antimikroba dan mendorong lembaga pendidikan menghasilkan tenaga medis penunjang PPRA. Contohnya, dokter spesialis mikrobiologi klinik dan dokter spesialis anak mendalami penyakit infeksi.
Resistensi antibiotik jadi penyebab 700.000 kematian di dunia. Di Indonesia, tak semua kasus resistensi antimikroba terdata dengan baik. Kasus resistensi antimikroba terutama terjadi pada tuberkulosis, yakni kasus multi drug resistant (MDR), extensively drug resistant (XDR), dan totally drug resistant (TDR).
Interpretasi pola kuman
Direktur Umum Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI) Budiman Bela menyatakan, meski baru beroperasi Desember mendatang, RSUI telah memiliki tim PPRA. Sesuai standar ditetapkan pemerintah, tim itu terdiri dari tenaga kesehatan berbagai jenis keahlian. Para dokter yang menggunakan antibiotik seperti dokter penyakit dalam, bedah, kebidanaan dan kandungan, paru, anak, juga mikrobiologi klinik, serta tenaga farmasi masuk dalam tim PPRA.
"Dokter ahli mikrobiologi klinik akan sangat membantu dalam interpretasi pola kuman. Data ini nantinya sangat berguna bagi dokter-dokter yang memberikan resep antibiotik pada pasien," kata Budiman.
Dokter ahli mikrobiologi klinik akan sangat membantu dalam interpretasi pola kuman. Data ini nantinya sangat berguna bagi dokter-dokter yang memberikan resep antibiotik pada pasien.
Selain dokter, laboratorium penunjang yang dimiliki RSUI dinilai lengkap dan canggih. "Hasil kultur dan pemeriksaan resistensi kalau sudah bisa keluar dalam 48 jam sudah terbilang cepat. Kami targetkan pemerikaan mikrobiologi sedikit lebih cepat dari itu karena alatnya canggih," kata Budiman.
Konsultan penyakit tropis dan infeksi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Erni Juwita Nelwan mengatakan, pemahaman masyarakat akan penggunaan antibiotik yang benar dan kepedulian dokter dalam peresepan obat kepada pasien harus dibangun secara paralel.
Untuk dokter, dalam kurikulum pendidikan kedokteran hingga praktik klinis, terus diupayakan agar dokter memiliki kompetensi mendiagnosis penyakit dengan benar sehingga memberikan obat yang tepat kepada pasien. "Antibiotik bukanlah obat untuk menyembuhkan gejala penyakit. Antibiotik dipakai jika ada diagnosis infeksi bakteri," katanya.
Kadang pasien justru mendesak dokter untuk memberikan antibiotik. Pasien merasa tanpa antibiotik dirinya akan lemas dan penyakitnya tidak sembuh. Padahal, belum tentu penyakitnya disebabkan oleh bakteri.
"Orangtua yang punya anak kecil sekarang cenderung memertanyakan jika anaknya diberi antibiotik oleh dokter. Namun orang dewasa malah sering meminta antibiotik pada dokter padahal belum tentu memerlukan. Antibiotik bukan obat lemas atau obat untuk mengobati gejala penyakit," kata Erni.
Apabila pasien datang ke dokter dengan gejala demam dan trombosit turun misalnya, ada 20 penyakit yang kemungkinan bisa terjadi pada pasien itu antara lain, typhoid, leptospirosis, demam dengue, influenza, malaria, dan infeksi saluran kemih. Dari penyakit itu, hanya typhoid dan leptospirosis yang memerlukan antibiotik. Diare karena parasit pun tak membutuhkan antibiotik tetapi antiparasit. Untuk itu, dokter harus memiliki kemampuan diagnosis yang cermat agar tidak keliru meresepkan obat kepada pasien.