AMBON, KOMPAS — Hingga Jumat (16/11/2018), penyidik Bidang Profesi dan Pengamanan Kepolisian Daerah Maluku masih memeriksa dua polisi yang diduga terlibat melanggengkan aktivitas penambangan liar di Pulau Buru, Maluku. Penyelidikan itu meliputi aliran suap sebesar Rp 16 miliar yang setiap bulan disetor pelaku tambang kepada oknum-oknum tertentu di sana.
Kepala Bidang Humas Polda Maluku Komisaris Besar Mohamad Roem Ohoirat belum mau menyebutkan nama, inisial, dan pangkat dua anggota Polri dimaksud. ”Yang pasti kedua orang itu masing-masing satu anggota yang bertugas di Reserse Polres Pulau Buru dan satu lagi adalah anggota di Polsek Waeapo,” katanya. Wilayah hukum Polsek Waeapo meliput Gunung Botak.
Menurut Roem, berdasarkan hasil penyelidikan, salah satu polisi itu hampir 100 persen segera ditetapkan menjadi tersangka, sementara yang satu lagi sudah terkumpul bukti lebih dari 50 persen. Dalam satu pekan ke depan, status hukum kedua terperiksa itu segera dipastikan.
Namun, Roem belum mau membeberkan modus pelanggaran mereka. ”Nanti pada akhirnya akan diumumkan. Bukti sudah cukup kuat, tinggal melengkapi saja,” ujarnya.
Menurut Roem, penyelidikan itu menjadi bukti komitmen Polri dalam menghentikan tambang liar beserta pengolahan emas yang menggunakan sianida dan merkuri yang telah merusak lingkungan di Pulau Buru. Ihwal Gunung Botak bahkan sudah menjadi atensi Presiden Joko Widodo. Pada Mei 2015, Presiden telah memerintahkan agar lokasi tambang tersebut ditutup.
Komitmen dimaksud ditunjukkan dengan penegakan hukum yang tidak tebang pilih. Selain memproses pemodal tambang dan pengedar merkuri serta sianida, Polda Maluku juga menindak anggota yang terbukti terlibat.
”Pak Kapolda Maluku (Inspektur Jenderal Royke Lumowa) menyatakan akan mengusut anggota yang mungkin terlibat di sana. Jika ada pelanggaran berat, Polri tidak segan-segan untuk melakukan pemberhentian tidak dengan hormat,” kata Roem.
Dari catatan Kompas, pada Oktober lalu Royke mendatangi Gunung Botak dengan berjalan kaki hingga ke puncak. Di sana Royke mendapatkan sejumlah informasi terkait dengan dugaan suap sebesar Rp 16 miliar dari pelaku tambang liar untuk sejumlah oknum di sana. Ia pun memerintahkan kepada anak buahnya untuk segera menutup lokasi tersebut.
Setelah Royke kembali dan melaporkan hal tersebut ke Mabes Polri, sejumlah penyidik dari Badan Reserse Kriminal Mabes Polri mendatangi Pulau Buru dan memeriksa sejumlah orang. Pada saat bersamaan, Polri memutasi Ajun Komisaris Besar Aditya Budi Satrio dari jabatannya sebagai Kepala Polres Buru. Sejumlah anak buah Aditya juga ikut dimutasi.
Sementara itu, berdasarkan informasi yang dihimpun Kompas, saat ini ada gerakan untuk menekan pemerintah daerah agar membuka kembali lokasi tersebut. Sejumlah petambang juga masih nekat masuk ke dalam areal tersebut pada malam hari. Beberapa pos gabungan Polri, TNI, dan Satuan Polisi Pamong Praja masih berjaga di sana untuk mengantisipasi masuknya petambang.
Sementara itu, Gubernur Maluku Said Assagaff melalui Kepala Bagian Humas Pemerintah Provinsi Maluku Bobby Palapia mengapresiasi langkah sejumlah pihak dalam menyelesaikan masalah Gunung Botak. Masuknya kembali petambang setelah puluhan kali ditutup menunjukkan ada persoalan di sana.
”Sebelumnya, daerah memberi anggaran yang cukup besar untuk upaya penertiban di sana, tetapi banyak kali gagal. Kali ini hasilnya sudah lebih baik dari sebelumnya,” kata Bobby.
Menurut Bobby, persoalan Gunung Botak yang sudah dibahas hingga tingkat kementerian itu kiranya dapat memberikan hasil yang baik. Dengan ditutupnya kegiatan tambang ilegal itu, pencemaran merkuri dan sianida di lokasi tersebut dapat dikendalikan. Buru merupakan salah satu lumbung pangan di Maluku.