Isu HAM Jadi Tantangan
Isu hak asasi manusia, terutama penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM berat di masa lalu, kembali muncul dalam Pemilihan Presiden 2019.
JAKARTA, KOMPAS - Isu hak asasi manusia kembali muncul sebagai program yang ditawarkan para kandidat peserta Pemilihan Presiden 2019. Tantangan saat ini adalah meyakinkan kelas menengah kritis bahwa program yang sudah kerap muncul dalam beberapa kali pemilu pascareformasi itu, kali ini akan benar-benar bisa diwujudkan.
Di bawah naungan tema penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM, pasangan Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin dalam dokumen visi, misi, dan programnya, menekankan bahwa negawa wajib menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM. pasangan ini juga berjanji melanjutkan penyelesaian yang berkeadilan terhadap kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Namun, program yang dinyatakan tidak sedetail yang ditulis pasangan Jokowi-Jusuf Kalla saat Pemilu 2014.
Sementara itu, masalah penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu, tidak ditemukan di dokumen visi, misi, dan program pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno.
Tidak eksplisit
Juru Bicara Prabowo–Sandiaga, Siane Indriani, Kamis (15/11/2018) di Jakarta mengatakan, agenda HAM memang tidak secara eksplisit dituliskan dalam visi dan misi Prabowo-Sandiaga. Ini karena HAM dilihat sebagai unsur yang menjiwai berbagai poin dalam visi dan misi secara umum.
Namun, Siane membantah jika Prabowo-Sandiaga tidak akan menyelesaikan kasus dugaan pelanggaran berat HAM di masa lalu. “Kami malah ingin masalah ini benar-benar dibuka. Pasalnya, selama ini ketika ditangani Kejaksaan Agung, tidak pernah bisa dibuktikan bahwa Pak Prabowo pelanggar HAM. Akibatnya, soal HAM ini menjadi komoditas politik saja, apalagi saat pemilu,” katanya.
Siane yang pernah jadi anggota Komnas HAM mengatakan, saat ada di komisi itu melihat ada tujuh kasus dugaan pelanggaran berat HAM masa lalu yang memang sulit diselesaikan. Hal ini terkait dengan masalah teknis pembuktian dan aspek politis.
Kasus itu adalah peristiwa 1965-1966; penembakan misterius; peristiwa Talangsari; penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998; kerusuhan Mei 1998; Wasior-Wamena; serta peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II.
Saat Pemilu 2014, pasangan Jokowi-Jusuf Kalla berkomitmen menyelesaikan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM di atas. Saat itu, Jokowi-Kalla juga mencantumkan janji merevisi Undang-Undang Peradilan Militer.
Namun dalam Pemilu 2019, pasangan Jokowi-Ma\'ruf tidak lagi secara detail mencantumkan program-program itu.
Sekretaris Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf Hasto Kristiyanto mengatakan, visi-misi dan program aksi terkait HAM di Jokowi-Ma\'ruf memang tidak detail karena dokumen itu masih bersifat umum.
Rencana dan program kerja pemerintah terkait penegakan HAM dan penuntasan kasus HAM berat masa lalu, lanjut Hasto, akan diturunkan lebih detail setelah pemilu selesai. “Untuk detailnya, akan ada penjabarannya secara konkret oleh tiap menteri,” katanya.
Terkait janji penegakan HAM yang belum bisa dipenuhi selama menjabat, Hasto mengatakan, skala prioritas bagi Jokowi di periode pertamanya adalah membangun dari pinggiran, meminimalisir ketidakadilan dan kemiskinan, menjamin pendidikan dan kesehatan rakyat, serta membangun infrastruktur. Program-program itu, menurutnya, juga berkaitan dengan pemenuhan hak-hak masyarakat.
Terkait penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu, saat ini Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan sedang membentuk Dewan Kerukunan Nasional. Dewan ini akan membahas permasalahan dan menemukan jalan keluar untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Mekanisme
Saat ini, dikenal, sejumlah cara untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Selain melalui jalur yudisial, juga ada jalur non yudisial, yaitu lewat komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Jalur nonyudisial ini pernah dilakukan di sejumlah negara, seperti Afrika Selatan.
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik berpendapat, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sebaiknya dengan mekanisme yudisial. Namun, penyelesaian melalui jalur ini tidak berarti harus ada pihak yang dipenjarakan.
“Setelah dilakukannya pengadilan, lalu ada proses rekonsiliasi, pemaafan, atau hal lainnya, itu hal lain. Namun jalan yang ditempuh sebelumnya lewat penegakan hukum,” katanya.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, penuntasan kasus dugaan pelanggaran HAM berat di masa lalu, penting dilakukan untuk menjamin tidak berulangnya peristiwa yang sama di masa depan.
F Budi Hardiman, pengajar filsafat Universitas Pelita Harapan menuturkan, pelanggaran HAM berat masa lalu yang tidak terselesaikan akan menimbulkan beban psikologis kolektif masyarakat. Akibatnya, bangsa Indonesia akan terbelenggu oleh masa lalu, sehingga sulit bermetamorfosa.
Di setiap pemilihan presiden, lanjut Budi Hardiman, akan selalu ada permintaan dari masyarakat kepada kandidat untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat di masa lalu. Oleh karena itu, kontestan dalam politik juga akan menggunakan isu HAM untuk marketing politik.
Namun, menurut Budi Hardiuman, isu HAM sudah menjadi “komoditas” politik lama yang terus ditawarkan, tetapi tidak pernah benar-benar “ditebus” oleh pemimpin yang terpilih.
“Isu HAM dulu merupakan komoditas politik yang sangat menarik untuk kampanye, tetapi masyarakat terlalu lama dikecewakan. Karena itu, jika isu ini muncul lagi tanpa langkah konkret kapan akan dilakukan, lalu caranya bagaimana, mungkin masyarakat sudah tahu dan jemu. Di sisi lain, kubu yang tidak menawarkan program terkait HAM itu juga mungkin ada masalah dengan kubu itu,” kata Budi Hardiman.
Menurut Budi, persoalan HAM banyak diperhatikan oleh kelas menengah terdidik, sehingga mereka bisa dengan mudah merasakan jika sedang dibohongi oleh kandidat.