Jadikan Desa dan Sekolah Pusat Pelatihan Kewirausahaan
BANYUWANGI — Pemerintah Kabupaten Banyuwangi mulai merancang sistem pelatihan kewirausahaan berpusat di desa-desa dan sekolah-sekolah. Itu dilakukan untuk menghadapi persaingan pada era Revolusi Industri 4.0.
Pelatihan kewirausahaan menyasar para pelajar dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. Pelatihan diberikan sejak merancang usaha, produksi, hingga pemasaran. Harapannya, semakin banyak tercipta lapangan kerja bagi warga.
Pelajar membatik dalam Festival Canting Sewu di Desa Tampo, Kecamatan Cluring, Banyuwangi, Jawa Timur, Jumat (16/11/2018). Pemerintah Kabupaten Banyuwangi mendorong sekolah-sekolah untuk mulai mengembangkan ekstrakurikuler yang berbasis pada wirausaha melalui ekstrakurikuler kopi dan cokelat serta ekstrakurikuler batik. ”Saat ini tantangannya sudah berubah. Nilai akademis baik, tetapi tidak kreatif, maka susah bisa berhasil. Kreativitas perlu ditumbuhkembangkan. Pendidikan karakter dan akademis tetap penting, tetapi penguasaan keterampilan juga perlu mendapat porsi untuk dikembangkan,” ujar Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas saat membuka Festival Canting Sewu di Desa Tampo, Kecamatan Cluring, Banyuwangi, Jumat (16/11/2018).
Oleh karena itu, Anas mendorong sekolah-sekolah mulai mengembangkan ekstrakurikuler berbasis pada wirausaha. Setidaknya, dua ekstrakurikuler berbasis wirausaha yang akan segera diterapkan adalah ekstrakurikuler kopi dan cokelat serta ekstrakurikuler batik.
Pendidikan jenjang SMP, SMA/SMK, dan pondok pesantren yang lokasinya dekat perkebunan akan mulai menerapkan ekstrakurikuler kopi dan cokelat. Kegiatan tersebut akan dikerjasamakan dengan PT Perkebunan Nusantara XII yang dikenal sebagai penghasil kopi dan kakao berkualitas ekspor.
”Potensi pasar kopi dan cokelat sangat besar. Kami terus mendorong semakin banyak anak muda mampu mengolah potensi agro menjadi sektor bisnis yang menjanjikan. Kami ingin menyiapkan SDM (sumber daya manusia) yang paham budidaya, pengolahan, hingga pemasaran kopi. Dengan menggarap sektor hulu hingga hilir, nilai tambah ekonomi ada di tangan anak-anak muda Indonesia, tidak hanya digarap gerai kopi-cokelat raksasa,” ujar Anas.
Sementara untuk industri batik, ekstrakurikuler dan pelatihan batik dilakukan dengan pendampingan desa-desa. Pelatihan membatik dapat dilakukan dengan menggabungkan beberapa sekolah dan menggunakan balai desa atau kecamatan untuk tempat latihan.
Pelatihan tersebut nantinya menggandeng butik-butik, perancang busana, dan desainer motif. Pelatihan tidak hanya ditujukan kepada pelajar, tetapi juga kepada pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
”Desa-desa sudah dilengkapi fiber optik. Manfaatkan fasilitas tersebut untuk sarana pembelajaran, mengasah keterampilan, dan memasarkan hasil kreativitas. UMKM harus terus beradaptasi menghadapi Revolusi Industri 4.0 dengan belajar menawarkan dagangan melalui toko daring,” ujarnya.
Terkait dengan permodalan dan pendampingan, Anas berencana menggandeng pihak perbankan. Harapannya, akses modal dapat diperoleh dengan mudah serta para pelaku usaha mengetahui kondisi dan peta perdagangan.
Salah satu desa yang akan dirancang menjadi pusat wirausaha batik ialah Desa Tampo, Kecamatan Cluring. Kepala Desa Tampo Suparno mengatakan, ada enam UMKM batik yang tumbuh di Desa Tampo.
UMKM tersebut berhasil mempekerjakan sekitar 150 orang. Pemasaran mereka sudah merambah ke luar Banyuwangi, bahkan hingga luar negeri.
”Kami siap menjadi sentra produksi batik Banyuwangi. Kami berharap pelatihan entrepreneur membatik dapat meningkatkan produksi batik asal Tampo sekaligus membuat nama batik Tampo semakin tenar dan dicari orang,” ujarnya.
Salah satu UMKM batik yang tumbuh di Tampo ialah Tatzaka Batik. Usaha yang dimulai sejak 2010 tersebut terus berkembang hingga mampu mempekerjakan 40 orang yang didominasi anak-anak muda.
Vega Meidi dari bagian Marketing Tatzaka Batik mengatakan, gencarnya festival di Banyuwangi menumbuhkan pasar pagi usaha batik tradisional. Ia mengakui, kreativitas menjadi tantangan tersendiri agar usaha batik dapat terus berkembang.
”Kami harus benar-benar mengikuti perkembangan desain, motif, warna, dan lainnya. Salah satu inovasi yang kami coba luncurkan ialah mengubah batik yang selama ini cenderung gelap dengan motif yang penuh menjadi warna-warna terang dengan motif yang besar, tetapi jarang-jarang,” katanya.
Terkait dengan pemasaran, Vega mengatakan, saat ini dirinya banyak memanfaatkan media sosial sebagai sarana promosi. Batik Tatzaka kini tidak hanya dijual di Banyuwangi, tetapi juga merambah ke Bali, Yogyakarta, bahkan Lampung.
Beberapa kali Batik Tatzaka juga dipesan hingga ke luar negeri, misalnya Taiwan, Malaysia, dan Singapura. Pemesanan dilakukan oleh tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri melalui Ikatan Keluarga Banyuwangi (Ikawangi) di sejumlah negara.