JAKARTA, KOMPAS — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan mengatakan bahwa impor minyak dan gas bumi oleh Indonesia seharusnya dijadikan modal untuk menciptakan nilai tambah di dalam negeri. Hasil dari penciptaan nilai tambah tersebut seharusnya diekspor untuk mencegah timbulnya defisit perdagangan. Ekspor dari penciptaan nilai tambah yang ia maksud adalah untuk sektor non minyak dan gas bumi.
"Kalau harga minyak mentah naik, praktis harga BBM naik. Indonesia impor 500.000 barel per hari sampai 600.000 barel per hari untuk minyak maupun BBM. Kalau disebut defisit neraca perdagangan karena datang dari defisit perdagangan migas," ucap Jonan, Kamis (15/11/2018), di Jakarta.
Seharusnya, lanjut Jonan, Indonesia meniru negara-negara lain yang juga mengimpor BBM maupun minyak mentah dalam jumlah besar, seperti China dan Jepang. Kendati kedua negara itu sangat bergantung terhadap impor, China dan Jepang berhasil menciptakan nilai tambah yang kemudian berhasil di ekspor dalam jumlah besar yang nilainya melampaui nilai impor BBM dan minyak mentah.
"Singapura apa punya minyak? Tidak. Tapi, kenapa mata uangnya masih kuat? China juga begitu. Mereka nilai ekspornya besar. Seharusnya, minyak menjadi salah satu komoditas untuk produksi. Untuk menaikkan nilai tambah," kata Jonan.
Pada September lalu, Kementerian ESDM mengumumkan lima langkah pemerintah mengatasi defisit perdagangan migas. Kelima langkah itu adalah mandatori B-20, pembelian minyak mentah bagian kontraktor oleh PT Pertamina (Persero), penambahan kuota ekspor batubara 100 juta ton, mendorong penggunaan produk lokal, dan digitalisasi semua SPBU milik Pertamina. Hanya saja, masih ada kendala dalam merealisasikan kelima langkah itu.
Mengenai kebijakan pembelian minyak mentah bagian kontraktor oleh Pertamina, Vice President Corporate Communication Pertamina, Adiatma Sardjito, mengatakan , kebijakan tersebut masih dibahas bersama pemerintah. Menurut dia, belum ada perkembangan mengenai kebijakan pembelian minyak mentah bagian kontraktor oleh Pertamina (Kompas, 14/11/2018).
Anggota Komisi VII DPR dari Partai Gerindra Ramson Siagian berpendapat, kebijakan Kementerian ESDM tersebut belum sepenuhnya efektif. Pemerintah belum berhasil menekan kontraktor hulu migas untuk menjual bagian minyak mentah ke Pertamina. Sementara, mandatori B-20 memakan biaya tinggi akibat harga minyak sawit (CPO) yang turun. Selisih harga solar dengan CPO tersebut menyebabkan subsidi membengkak.